Selasa, 29 April 2014

Sejarah Batu Gantung di Parapat, Sumatera Utara



 

ASAL MULA BATU GANTUNG

PENDAHULUAN
            Setiap Daerah pasti memiliki sesuatu yang khas dari diri mereka sendiri. Hal ini bisa saja mencakup legenda, objek wiasta, ada, bahasa, sejarah, dan hal lainnya. Daerah kita, Tanah Batak pun punya hal yang demikian. Salah satu daerah yang terkenal dari Tanah Batak yaitu daerah Simalungun, khususnya daerah Parapat. Tempat ini terkenal dengan objek wisatanya. Uniuknya, setiap objek wisata di daerah ini memilki mitos tersendiri, baik Danau Toba, Sigale-gale, batu gantung, dan lain-lain.
            Mitos-mitos ini pun memiliki banyak versi, tergantung sumber yang kita tanyakan. Mengapa demikian? Seperti yang kita ketahui, sudut pandang manusia berbeda-beda dan kemampuan seseorang menyerap dan menyalurkan cerita yang diwariskan turun temurun pun berbeda-beda.
            Berikut ini akan dipaparkan sebuah contoh mitos tentang batu gantung yang juga memiliki berbegai versi, namun yang akan dipaparkan hanya 2 contoh  saja .

ISI
            Objek wisata ini adalah salah satu objek wisata kebanggaan daerah Parapat. Tempat ini terletak di sekitar daerah Sibaganding Tua, kurang lebih sembilan puluh menit perjalanan dari daerah Siantar. Ada dua jalur untuk mencapai tempat ini. Dari daerah Sibaganding Tua hanya menghabiskan waktu lima menit saja namun tempatnya agak terpencil. Bila dari jalur umum, yang di pinggir jalan raya, akan menghabiskan waktu tiga puluh menit.
            Banyak versi mengenai cerita batu gantung. Adapun versi yang berhasil diperoleh dari penelusuran kelompok adalah sebagai berikut :
A.    Menurut: Ujianna Br. Ambarita ( 85 Tahun )
Ujianna, salah seorang penduduk atau warga desa Sibaganding Tua. Nenek ini lahir, besar, menikah dan sampai saat ini masih tinggal di daerah Sibaganding Tua, di mana peristiwa atau cerita Batu Gantung terjadi.

Asal mula Batu Gantung
Dahulu daerah Sibaganding merupakan suatu daerah yagn dipimpin oleh seorang Raja. Nama Raja yang memimpin di situ ialah Tuan Sinaga. Sang Raja ini mempunyai seorang putri yang bernama Duma br.Sinaga. Duma merupakan seorang yang seorang gadis yang sangat cantik di desanya itu. Duma mempunyai rambut yang panjang dan terurai hingga menyentuh tanah. Melihat keadaan sang putri yang sudah beranjak dewasa, maka tuan Sinaga ingin agar putrinya itu menikah atau dipersunting oleh seseorang. Di suatu saat sang raja memanggil Duma putrinya: mereka bercerita mengenai jodoh atau menjadi pendamping hidupnya ( dahulu hal ini sering terjadi, bahkan untuk menentukan jodoh atau pendamping hidup anak-anaknya, orang tua sangat berotoritas sangat tinggi ). Hal inilah yang terjadi terhadap sang putrid raja itu. Raja itu ingin agar putrinya menikah dengan paribannya atau anak ni namborunya. Setelah mendengar hal itu maka Duma menolak, Ia tidak mau segera menikah. Namun sang Raja bersikeras agar putrinya itu menikah dengan paribannya. Melihat Duma yang selalu menolah dan tidak ingin menikah dengan anak namborunya itu, maka sang Raja menawarkan “ Anak ni Raja “ kepada putrinya itu, Duma boleh bebas memilih anak ni Raja yang mana yang ingin dia pilih       ( dahulu sangat lazim jika seorang raja menjodohkan putra/i nya kepada putra/i raja yang lain ). Namun Duma kembali menolak, dia tidak menginginkan siapapun dari antara anak ni raja itu. Dia berkata bahwa dia tidak akan menikah dengan orang yang tidak disukai atau di cintai.
Mendengarkan penolakan sang putri itu, maka sang raja tuan Sinaga sangat marah kepada putrinya itu. Jika Duma tidak mau menikah dengan orang-orang yang telah ditentukan oleh sang raja, maka hendaklah Duma pergi dari rumah itu dan keluar dari perkampungan itu. Sebab Duma dianggap seorang gadis yang tidak patuh kepada orang tuanya. Namun sebelum putrinya itu meninggalkan rumah, sekali lagi sang raja menanyakan apakah sang putri mau menikah  dengan orang-orang yang ditentukan raja itu, namun Duma tetap denga satu jawaban bahwa ia tidak mau menikah dengan pilihan orang tuanya, karena tekadnya sudah bulat, untuk meninggalkan rumah dan kampung halamannya itu. Amarah sang raja pun memuncakdan dia bilang “boru naso si oloi  ajar do ho”!. Orang tuanya menyebutnya dengan “siboru nagigi” artinya wanita yang tidak mau menikah. Padahal si Duma ini seorang gadis yang pintar bertenun, bertenunu segala jenis ulos Batak.
Akhirnya pergilah si Duma dari rumah dan perkampungan itu. Dia tidak tahu kemana dia akan pergi. Namun ia akhirnya terus berjalan ke suatu puncak atau gunung mana tempat dia akan pergi dan tempat itu disebut si Gaung-gaung. Ternyata ketika ia pergi, ia diikuti oleh anjing kesayangannya. Karena sang putri tidak tahu harus bagaimana dan apa yang harus dilakukan akhirnya ia putus asa. Si Gaung-gaung ini merupakan tempat keramat yang dianggap tempat ini mempunyai penunggu yang mereka percayai pada saat itu. Sehingga pada saat itu Duma menyerahkan dirinya kepada            “ ompung mula jadi na bolon “, ( ompung mula jadi na bolon disini maksudnya kepada penunggu atau bahkan disebut begu yagn dipercayai oleh penduduk sekitar sebelum masuknya kekristenan ). Lalu Duma mempersembahkan dirinya dengan berkata : “buat ma ahu ale ompung mula jadi na bolon”, setelah berkata demikian maka penunggu atau begu yang ada di tempat itu bekerja dan mengikatkan rambut si Duma pada suatu batu. Sebelumnya Duma mendekatkan posisi anjingnya di dekat kakinya. Dengan perkataan “buat ma ahu” dan sepenuhnya menyerahkan diri kepada penunggu, maka akhirnya Duma dan anjingnya menjadi batu. Itulah awal sehingga terjadi batu gantung. Sebenarnya Duma bukanlah terjun atau hendak melompat ke danau, namun penunggu dan begu yang disituylah yang bekerja mengikatkan rambutnya ke batu sampai Duma dan anjingnya itu akhinya tergantung.
Menurut sang nenek ini, dahulu tempat di sekitar batu gantung itu sangat rawan, seram, dan angker. Banyak peristiwa yang terjadi dan hal-hal yang aneh di tempat ini. Setelah  peristiwa itu, banyak penduduk setempat itu lilu dalam hal kepercayaan, sebab mereka banyak menyembah atau memberi sesajen atau pelean  kepada arwah dari batu gantung itu. Mereka percaya bahwa batu gantung itu mampu memberi rejeki, kekayaan, kesehatan, dan lain sebagainya. Bahkan dulu, setiap orang yang berkunjung ke batu gantung tidak boleh mengenakan pakaian berwarna merah saat berkunjung akan celaka, karena si Duma tidak akan menjadikannya sebagai temannya. Bahkan yang paling ironisnya, tidak boleh dulu ada orang yang mengucapkan “batu gantung” alasannya bisa-bisa arwah yang di batu gantung itu akan marah dan melakukan suatu hal terhadap penduduk sekitar.
Banyak hal yang terjadi disekitar batu gantung, diantaranya : ketiak seorang tentara Belanda hendak menembak batu gantung dengan makdsud agar batu itu jatuh, namun batu itu tak kunjung jatuh. Maka sang tentara Belanda merasa marah sehingga ia mengucapkan cakap kotor. Ketika ia mengucapkannya, dengan sendirinya kapal yang dia tumpangi miring dan akhirnya terjatuh. Dan menurut penelitian bahwa kedalaman danau sekitar tempat itu sangat dalam.
Seiring masuknya kekristenan ke desa Sibaganding itu, maka dengan sendirinya penyembahan terhadap arwah-arwah disekitar batu gantung itu berkurang. Mereka mulai memeluk suatu agama. Bahkan setelah masuknya kekristenan, banyak hal positif yang telah terjadi. Karena tidak ada penyembahan dan tidak ada lagi orang yang memberi pele-pelean maka penunggu dan arwahnya dianggap tidak tinggal disitu lagi. Hingga sampai sekarang tidak ada lagi yang melakukan penyembahan atau memberi pelean kepada arwah yang disitu bahkan menurut nenek itu tidak ada lagi yang aneh yang terjadi disitu.
Akhir dari ucapan Duma kepada orang tuanya sebelum pergi dari rumah dan perkampungan ia bilang: “tung na so jadi tubu borum songon ahu”. Begitulah cerita dari seorang ompung yang benama Ujianna br. Ambarita yang notabene sebagai orang tertua yang tinggal di kampong itu, dari lahir hingga tua. Dan nenek itu berkata bahwa istri dari sang raja atau ibi dari Duma itu ialah br. Sirait.[1]

B.     Menurut Riorita br. Situmorang ( 58 Tahun )
Inang Riorita adalah salah satu seorang penduduk desa Sibaganding Tua, inang ini adalah seorang sintua HKBP Sibaganding Tua. Menurut beliau ceritanya sebagai berikut:
Duma adalah seorang putrid Raja. Duma yang dikenal orang sangat patuh terhadap orang tuanya, dan apa yang diperintahkan orang tuanya selalu ia laksanakan dan kerjakan. Duma pun akhirnya bertumbuh dan menjadi dewasa. Ia menjadi seorang gadis yang sangat cantik, ia mempunyai rambut yang sangat panjang terurai hingga hampir menyentuh tanah. Karena sudah dewasa, Duma mempunyai pacar atau laki-laki yang dicintainya, dan ia sudah mengikat janji dengan sang lelaki yang dicintainya itu. Namun orang tua Duma tidak mengetahui hal itu. Padahal ternyata ketika Duma masih kecil ia sudah ditunangkan dengan apriban atau anak namborunya, dengan kata lain si Duma telah “dipaorohon” kepada paribannya itu.
Disuatu ketika datanglah namborunya si Duma itu kerumah orang tua Duma atau itonya itu. Lalu ia mencari Duma dan ingin menceritakan suatu hal kepada “maennya” itu. Namborunya itu berkata : “anggi so tung di olio ho be anak ni na asing, Alana nunga dipaorohon ho na jolo tu pariban man, anakkonki” dan namborunya itu juga menegaskan bahwa  “na jolo nga huboan hami sipanganon tu jabu on, lao paorohon ho dohot pariban man jala dohot di najolo oppungmu mambege dohot mamereng I, jadi tung na so jadi be ho tu anak ni asing, ingkon tu pariban mon do ho!”. Mendengar perkataan namborunya itu Duma sangat terkejut, dan Duma berkata bahwa tidak pernah ada penjelasan atau ucapan dari bapaknya kalau dia sudah diikat janji atau di Paorohon kepada paribannya, sehingga Duma berkata dia tidak bisa menikah dengan paribannya sebab ia sudah sempat menerima janji seorang laki-laki yang dia cintai. Sebab tidak mungkin baginya untuk mengingkari janji kepada kekasihnya sebab dahulu ada “Umpasa” batak yang mengatakan bahwa “na mangose  padan tu riburna tu magona”. Duma tidak ingin melanggar umpasa itu, sebab dahulu apa yang disampaikan seorang itu boleh benar-benar terjadi.akhirnya namboru si Duma itupun menangis mendengar kalau si Duma sudah mempunyai lelaki yang dicintai dan kekasihnya. Sebab dahulu bapak Duma menyetujui kalau Duma dan paribannya itu di paorohon.
Tidak tahan mendengarkan penjelasan yang kuat dari mulut Duma dan namborunya itu juga tidak dapat membendung air matanya sehingga namboru Duma pergi kepada bapak Duma atau itonya itu dan menjelaskan semua yang terjadi dan mengatakan bahwa si Duma sudah menjalin hubungan dengan orang lain dan itu bukan dengan paribannya. Namborunya itu bertanya kepada itonya itu mengenai janji itu “mose”atau tidak ditepati. Padahal orang tuanya tadi tidak tahu juga kalau si Duma berpacaran pada orang lain. Melihat air mata namboru Duma atau ito bapaknya itu, maka sang bapak merasa iba melihat itonya menangis. Maka bapaknya memanggil putrinya si Duma dan dan meminta penjelasan bagaimana sebenarnya hal yang terjadi pada putrinya itu. Duma akhirnya menjelaskan semuanya kepada orang tuanya. Setelah mendengar penjelasan Duma, bapaknya sangat marah, Duma sangat ketakutan, sebab dia seorang yang sangat patuh pada orang tuanya, dan dia sudah menolak keinginan orang tuanya. Namun Duma tetap berkata bahwa dia tidak bisa menikah dengan anak namborunya/ paribannya itu. Namun sang raja ( bapak Duma )berkata : “ingkon tu paribanmi do ho, dang boi tu na asin, ingkon!!.
Mendengarkan suarau bapaknya yang sangat keras, Duma berdoa demikian : “oppung mula jadi na bolon, sahat tu ho ma ahu, molo ingkon songonon do, dang jadi ahu tu haholongan ni rohakki, jala dang jadi tu paribanki, jala sahat tu ho ma ahu oppung mula jadi na bolon!” ( artinya: tidak ada satupun yang mendapatkannya).
            Setelah itu akhirnya Duma pergi dari rumah, karena ia sudah di usir oleh orang tuanya sebab dianggap sebagai anak durhaka atau naso si oloi poda ni natorasna. Larilah dia dari perkampungan itu melalui kolong rumah mereka atau disebut bara ni jabu sebab dahulu, umumnya masih rumah panggung.
Dari bawah kolong rumah ia menuju ke suatu bukit atau gunung dan larilah di semak-semak itu. Kebetulan pada waktu itu daerah gunung itu kebakaran, tetapi ia tetap menembus api yang ada disemak-senak itu. ( kebakaran pada gunung atau bukit itu terjadi sendiri ) tanpa ada orang yang menbakarnya, dan bahkan sampai sekarang kebakaran pada gunung itu sering terjadi dengan sendirinya apalagi terjadi kemarau selama 2 bulan atau lebih, hal ini memungkinkan karena batu yang satu bergesekan dengan batu yang lain dan karena pengaruh tanah matahari selama 2 bulan, sehingga menimbulkan api dan terjadilah kebakaran. Setelah menembus semak yang terbakar sampailah ia di suatu tempat, tempat itu adalah batu-batu yang dipercayai oleh penduduk sekitar situdan terdapat penunggu atau begu. Maka sampailah dia disana. Duma putus asa dan tidak tahu kemana ia harus pergi, Duma berkata “molo toho do adong maringanan di batu on, alap ma ahu; alai molo so adong do, tao on ma mambuat ahu, Alana tung na so jadi ahu mulah be ahu”. Saat itu anjing Duma ikut atau datang dari belakang mengikutinya.
Duma akhirnya hendak melompat ke danau itu, sebab tiga kali ia menoleh kebelakangnya untuk mempersembahkan dirinya kepada makhluk yang ada atau penunggu disitu. Lalu akhirnya duma berlutut marsinggang pasahathon dirina namun tidak ada apa-apa yang dilihat di sekitarnya. Duma berfikir kembali namun tetap saja hatinya tidak ingin kembali kepada orang tuanya, tekadnya sudah bulat. Dia sudah habis fikir, lalu di lompatnyalah ke danau itu namun karena rambutnya yang sangat panjang teruraimaka sangkutlah rambutnya itu di batu dan dia akhirnya tergantung dan begitu juga dengan anjingnya Duma ikut melompat, ketika melompat anjingnya menjadi batu dan tergantung. Itulah sebabnya terjadi batu gantung.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Inang br. Situmorang ini, bahwa dahulu juga di daerah batu gantung itu sangat seram dan angker. Dahulu tidak boleh ada orang/pengunjung yang datang ke tempat ini dengan mengenakan pakaian berwarna merah, karena penunggu-penunggu di situ suka akan hal-hal yang berwarna merah. Bahkan dulu ketika bulan purnama, banyak orang disitu/ penduduk desa itu yang mangangguki atau menangis disitu memberi sesajen atau pele-pelean kepada arwah penunggu disitu agar diberi rezeki, kesehatan, hamoraon, hagabeon, dan hasangapon. Inang br. Situmorang menceritakan tentang seorang tentara Belanda yang mencoba menembak batu itu agar jatuh, ketika itu juga penduduk disana menyadari kekeliruan kepercayaannya. Namun seiring perkembangan zaman dan masuknya kekristenan maka hal-hal seperti semakin terkikis dalam kehidupan masyarakat. Tidak ada lagi yang melakukan penyembahan di batu gantung itu dan mereka sudah memeluk agama dan tidak percaya lagi pada hal-hal takhyul seperti itu. Dan menurut mereka, tidak ada lagi penunggu yangberdiam disitu sebab tidak ada lagi orang yang mamele atau memberi sesajen. Inang ini mengatakan penunggu itu betah bila di beri sesajen dan jikalau itu tidak dilakukan maka dengan sendirinya begu atau penunggu itu akan pergi atau berpindah.[2]

KESIMPULAN
            Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan sebelum masuknya kekristenan ke daerah Sibaganding Tua, masyarakat setempat sangat marak melaksanakan pemujaan atau pameleon terhadap begu atau penunggu yang diam di batu gantung. Tetapi sesudah kekristenan masuk ketanah batak, pemujaan itu sudah semakin berkurang .
            Memang versi cerita tentang batu gantung banyak, namun ada beberapa hal yang sama dengan yang lainnya, yaitu tentang nama tokoh, tempat kejadian, dan masalah awal, juga akhir cerita sama. Perbedaan terlihat dalam jalan cerita, dan beberapa hal lainnya. Ini mengindikasikan bahwa sumber pertama adalah satu orang. Karena keterbatasan alat komunikasi dan kemampuan manusia, maka penyampaian cerita ini keberbagai tempat, daerah, bahkan orang menjadi berbeda satu dengan yang lainnya.





[1]  Wawancara dengan ompung Ujianna br. Ambarita , sabtu 22 september 2007 pukul 14.00 sampai selesai, di rumah narasumber di Sibaganding Tua.
[2] Wawancara dengan narasumber st.Riorita br. Situmorang , minggu 23 september 2007 pukul 15.00 sampai selesai di rumah amang Sinaga /br. Hutabarat di desa Sibaganding Tua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar