Selasa, 29 April 2014

Apakah boleh bunuh diri? (Sikap Kekristenan dalam menyikapi bunuh diri)



Menyikapi Bunuh Diri, Diiring Simpati

Masih dalam rangkaian pembahasan Hukum Keenam, "JANGAN MEMBUNUH", kini
kita akan membahas sekadarnya masalah "bunuh diri". Tentu saja! Sebab kalau masalah
"euthanasia" saja yang notabene tak pernah secara eksplisit muncul dalam alkitab kita
bicarakan, betapa lagi soal "bunuh diri".
Ditambah lagi akhir-akhir ini, ketika jumlah peristiwa bunuh diri meningkat keras dan
kian sering terjadi. Dari yang dilakukan karena orang karena tak tahan terus-menerus
diimpit kemelaratan, sampai pada yang dilakukan oleh orang yang na'uzibillah kayarayanya.
Ingat konglomerat yang terjun bebas dari tingkat 56 sebuah hotel?
Dari yang pelakunya orang dewasa, sampai yang pelakunya, astagafirulah, masih sangat
belia. Ingat anak 12 tahun yang gantung diri, lantaran keluarganya tidak mampu
menyediakan uang 2,500 rupiah? Dan . jangan lupa Anda sebutkan, semakin populernya
metode terorisme dengan "bom bunuh diri"!
Alkitab, baik PL maupun PB, ada menyebutkan beberapa kasus bunuh diri. Ada yang
melakukannya karena soal harga diri, seperti yang dilakukan oleh Ahitofel (2 Samuel
17:23), Abimelekh (Hakim-Hakim 9:54), atau Saul (1 Samuel 31:4-5). Prinsip mereka
agaknya, "Lebih baik mati berkubur debu, ketimbang hidup berkalung malu".
Tapi ada pula yang melakukannya dengan prinsip yang lain, yaitu prinsip, "Kurelakan
tubuhku hancur lebur, asal semua sama-sama jadi bubur". Inilah yang melatar-belakangi
tindakan nekat Samson, (Hakim-Hakim 16:23-31) dan Zimri (1 Raja-Raja 16:18).
Yudas, si orang Iskariot itu? O, dia lain lagi. Ia menggantung diri, membawa penyesalan
yang menurut perasaannya tak mungkin terobati, atas kesalahan yang dalam anggapannya
tak mungkin terampuni (Matius 27:3-5). Alasan yang masuk akal juga, sebab apa sih
yang lebih menjijikkan dari pada mengkhianati cinta?
* * *
SEBENARNYA, bagaimana sikap Alkitab? Sangat jelas dan amat tegas! Alkitab
menolak dan mengutuk keras. Sebagaimana kita ketahui, ia mengutuk setiap bentuk
"pembunuhan".
Sabda Allah melalui Nuh, "Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan
menuntut balasnya . sebab Allah membuat manusia menurut gambar-Nya sendiri"
(Kejadian 9:5-6). Karena itu, walau terempas ke dasar penderitaan yang terdalam sekali
pun, seorang anak Tuhan seperti Ayub tetap menolak dengan tegas anjuran untuk bunuh
diri (Ayub 2:9-10).
Di mata orang Yahudi, "bunuh diri" adalah "suatu tindakan yang sengaja dilakukan,
dengan tujuan menghancurkan diri sendiri". Jadi, sepenuhnya negatif! Sepenuhnya
destruktif!
Sebab itu dalam adat mereka, mayat orang yang meninggal karena bunuh diri harus
dipertontonkan secara terbuka, tak boleh ada perkabungan baginya, dan pantang
dikuburkan sampai matahari terbenam. Lagi pula . mesti dikuburkan terpisah dari yang
lain.
Namun, toh di cela-cela keketatan mereka menaati hukum yang sangat termashur itu,
hebatnya, mereka juga cukup realistis. Mereka menyadari, bahwa dalam kehidupan nyata
bisa saja muncul kasus-kasus ekstrem, di mana tindakan bunuh diri yang resminya tidak
benar itu justru diperlukan.
Penulis sejarah, Yosefus, mencatat peristiwa yang mengerikan sekaligus mengesankan
sehubungan dengan itu. Ketika benteng Masada diserang musuh, dan segala harapan
mempertahankannya telah punah, apa yang terjadi? Eliezer, sang panglima,
memerintahkan pasukannya membantai semua orang Israel yang ada, dan setelah itu
membunuh diri mereka sendiri!
"Kita masih punya pilihan bebas, yaitu untuk mati secara terhormat .," demikian ia
berseru, "Biarlah perempuan-perempuan kita mati ketimbang dicemari, dan laki-laki kita
membuktikan bahwa mati lebih baik ketimbang jadi budak . Kematian membawa
kemerdekaan bagi jiwa . Karena itu, tak sudi diperhamba, marilah paling sedikit kita mati
sebagai orang-orang merdeka!". Heroik sekali. Hari itu Yosefus mencatat, ada 960 orang
membunuh diri mereka.
* * *
NAMUN Yosefus juga mencatat sisi yang lain dari persoalan kita. Dalam hal ini, ia
malah ikut langsung terlibat. Tatkala dalam insiden Yotapata, ia mengimbau dengan
sangat agar orang-orang Yahudi tidak bunuh diri.
Dalam imbauannya itu ia berkata, antara lain, "Mengapa kalian menyia-nyiakan kesatuan
yang begitu indah antara tubuh dan jiwa, dan ingin menceraikannya? Takut mati bagi
seseorang yang mesti mati, adalah sama pengecutnya, dengan orang yang ingin mati
ketika ia belum seharusnya mati.
Ketahuilah, bahwa tak ada kepengecutan yang lebih besar, dari pada tindakan seorang
nakhoda yang, lantaran takut pada badai yang akan datang, lalu menenggelamkan seluruh
kapal, bahkan sebelum prahara itu benar-benar tiba.
Sesungguhnya, bunuh diri adalah tindakan melawan kodrat, dan sekaligus tindakan
melecehkan Tuhan. Mereka yang mati terhormat memenangkan kemuliaan, tapi yang
mati karena bunuh diri mewarisi kekelaman".
Begitulah bagi orang Yahudi, bunuh diri adalah dosa. Walaupun kadang-kadang sekali,
bisa saja seseorang dibenarkan merelakan nyawa karena iman, demi keyakinan, dan
untuk Allah-nya.
Kata Yesus, "Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi
barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup
yang kekal" (Yohanes 12:25)
* * *
TAPI dalam kenyataan, kita tahu, iman bukan satu-satunya motif orang mencabut nyawa
sendiri. Malah boleh dikatakan, yang begini termasuk jarang sekali. Yang lebih sering
terjadi adalah, orang melakukannya karena "menthok".
Karena semua jalannya seolah-olah membentur tembok. Ia tak mungkin ke mana-mana
lagi. Ia tak punya pilihan apa-apa lagi.
Orang melakukannya, karena merasa tak sanggup lagi memikul beratnya beban
kehidupan. Tak mampu lagi melanjutkan perjalanan. Karena tenaganya telah terkuras
habis. Semangatnya telah padam. Dan yang ia rasakan sekarang, hanyalah kesakitan dan
kepenatan semata-mata, sementara di depan ia tak melihat secercah pun cahaya
pengharapan atau kemungkinan perbaikan. Sebab itu, mengapa memperpanjang derita?
Masalah bunuh diri, saya akui, adalah masalah etis. Tapi mengingat sifat
permasalahannya, penting sekali saya tekankan, bahwa "masalah etis" ini wajib kita
bahas dengan "sikap etis" pula! Ini perlu saya tekankan, karena - sebagaimana berulangulang
saya kemukakan -- betapa sering orang membusungkan dada berkata hendak
menegakkan moral, tapi praktik dan cara-caranya sama sekali tidak bermoral.
"Sikap etis" yang saya maksud adalah, sikap bersedia menempatkan diri dalam posisi dan
situasi si pelaku. Melihat dari sudut pandangnya. Ikut tergetar oleh sedu sedannya. Ikut
tersayat oleh kepedihannya. Mendengar dengan jelas rintihannya yang tak terucapkan.
Maksud saya, kita tidak datang sebagai seorang guru yang mau mengajari, atau sebagai
seorang pengkotbah yang mau mencerca, atau sebagai seorang penasihat yang berpretensi
bijak dan tahu semua. Tapi datang semata-mata sebagai sahabat.
Bukan dengan menyandang kaidah-kaidah moral, tapi dengan mulut mencibir. Melainkan
datang membawa empati dan simpati, yang memancar langsung dari hati. Tidak asal
membenarkan, sebab kita mesti membuat penilaian. Tapi penilaian yang kita buat, adalah
penilaian dari dalam situasi si penderita. Penilaian yang memahami sepenuhnya pilihanpilihan
yang kongkret, sulit, dan pelik, yang dihadapi saudara kita.
* * *
DENGAN berbekal sikap seperti itu, maka yang pertama-tama harus kita katakan adalah,
bahwa bunuh diri selalu terjadi dalam konteks dan realitas kehidupan yang tidak sehat,
tidak wajar, dan tidak ideal. Dalam situasi normal, sikap yang wajar tentu saja adalah
berusaha mempertahankan, memelihara, bahkan mengembangkan kehidupan. Bukan
justru dengan sengaja menghilangkannya.
Karena itu, dalam situasi normal, jelas sekali bunuh diri adalah sesuatu yang absurd.
Tidak dapat dibenarkan. Ia melawan naluri kehidupan. Sekiranya semua berjalan normal,
hampir tak mungkin orang bunuh diri karena terpaksa.
Sebenarnnya kita atau siapa pun tak perlu mengatakan bahwa "bunuh diri itu salah".
Sebab, kalau cuma itu, siapa yang belum tahu? Semua sudah mengetahuinya. Lagi pula
tak seorang pun yang menginginkannya.
Mungkin yang belum banyak orang tahu adalah, bahwa kitalah yang tidak normal,
apabila dalam situasi yang tidak normal, kita mau memaksakan ukuran-ukuran yang
normal.
Yang paling penting dalam permasalahan kita, sebenarnya bukan soal benar-tidaknya
atau boleh-tidaknya bunuh diri. Sekali lagi, ini telah jelas bagi semua.
Yang jauh lebih penting untuk dinyatakan dan ditanyakan adalah: bagaimana sikap kita
ketika mengatakannya? Apakah dengan cemooh? Atau dengan simpati?
O saudaraku, dengarkanlah apa yang saya katakan ini! Yaitu bahwa tak ada kesempatan
lain, di mana KASIH dan SIKAP KRISTIANI SEJATI begitu dibutuhkan, dari pada
ketika saudara kita sedang berada di ambang bunuh diri.
Sayang sekali, yang lebih sering terjadi adalah mereka sendirian. Sendiri, tanpa teman
sepenanggungan. Persis seperti ketika di senja itu, di taman Getsemane, Yesus hanya
membutuhkan teman berjaga, tapi mesti kecewa.



Karya: Eka Darma Putera
Edited by: Richard Andrew P. Napitupulu, S.Th

Tidak ada komentar:

Posting Komentar