Rabu, 07 Mei 2014

Napak Tilas Pelayanan Pdt. Dr. Ingwer Ludwig Nommensen di Tanah Batak



 

PARTISIPASI
Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen
Dalam Perkembangan Misi di Tanah Batak
1. Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen lahir pada tgl. 06 Februari 1934 di Noordtrand Jerman, nama isterinya adalah: Carolina Margareta Nommensen. Pada tahun 1861, Gereja Kesatuan Barmen mengutus Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen untuk melayani di tanah Batak. Persiapan yang begitu panjang, suka maupun duka telah di alami Pdt. Dr. Ingwer Lodewijk Nommensen melayani di tanah Batak. Pada hari 16 Mei 1962, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen telah sampai di Padang dan melanjutkan perjalanannya ke Sibolga, pada tgl. 16 Juni 1862.

2.       Awal pelayanan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, adalah di Barus – Sibolga. Saat itu orang Batak sangat takut melihat orang yang disebut “Sibontar Mata”, lagi pula komunikasi sangat-sangat sulit karena bahasa yang berbeda. Namun atas penyertaan Tuhan pun dapat dilaksanakan dengan baik. Di Barus, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, mengalami kejengkelan orang Batak, sebab periuk yang penuh nasi di rumah Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, habis dicuri mereka.
Disaat Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen memainkan harmonikanya dengan suara lagu-lagu rohani yang belum pernah didengar orang Batak. Saat itu raja-raja dan masyarakat Barus berpikir, bahwa binatanglah yang bernyanyi itu. Karena herannya, mereka pun meminta harmonika itu untuk mereka pegang dan untuk dibunyikan, lalu Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun memberikannya, tetapi telah lebih dahulu dibukanya alat tiupnya. Raja mencoba meniup harmonika itu, tetapi tidak bisa dibunyikan. Lalu raja berkata, bahwa binatang yang dimaksud mengenal tuannya, lalu raja itu mengembalikan harmonika itu kepada Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, karena tidak dapat dibunyikan.
Di Barus Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, banyak mempelajari Bahasa Indonesia dan Bahasa Batak, ditambah apa yang telah dipelajarinya selama di Kapal Laut dari Pdt. Dr. Van der Tuuk. Masih banyak desa yang dikunjungi Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen di Barus dan Sibolga.

3.    Pada tgl, 30 November 1862, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen kembali ke Sibolga, mereka mengalami badai yang begitu dahsyat, karena gelombang laut yang tinggi, namun atas penyertaan Tuhan, mereka pun selamat sampai di Sibolga. Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, melanjutkan perjalanannya ke Sipirok dan Sigompulon Pahae. Mereka pun bertemu dengan Pdt. Van Asselt dan Pdt. Heine yang kebetulan menghadiri rapat raja-raja di Sarulla Pahae.
Karena Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen tidak mendapat Pdt. Heine di Sigompulon, maka ia pun menjemput mereka ke Sarulla, tetapi di tengah jalan, mereka pun berjumpa di hutan belantara yang pernah di alami di Pulau Sumatera.

4.       Rapat Pendeta pertama di tanah Batak – Parau Sorat – Sipirok: Pada tgl. 07 Oktober 1861, diadakan rapat empat orang Pendeta di Sipirok antara lain: Klammer, Betz, Heine, dan Van Asselt. Selanjutnya pada Tgl. 07 Oktober 1862, mereka pun menentukan program kerja yang segera dilaknasakan di Sipirok Tapanuli Selatan.
Pdt. Van Asselt melayani di Sarulla, sementara Pdt. Klammer di Sipirok. Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun sementara menjadi tinggal di Parau Sorat – Sipirok, yang seogiannya Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen akan berangkat ke Silindung atau Tarutung.

5.       Pada Tgl. 07 November 1863, sesuai dengan pesan dari Badan Zending Barmen Jerman, melalui inspektur Van Rhoden yang berpesan kepada Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen: “Jangan engkau melupakan pemberitaan Injil ke Silindung”. Untuk mewujudkan pesan ini: Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, berangkat dari Bunga Bondar ke Silindung melalui Simangambat, tentu ia menaiki kuda beban, sebagai alat transportasi terhormat saat itu.
Disamping perjalanan mereka menuju Silindung, saat itu sedang terjadi peperangan di Pangaribuan. Mengingat kebiasaan, jika terjadi peperangan antara masyarakat, maupun disebabkan serangan musuh, semua orang akan masuk ke lubang yang telah disediakan para penduduk desa, maupun ke bukit-bukit gunung.
Disaat peperangan itu terjadi Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun teringat tentang perjuangan kekristenan yang mencari lubang sebagai persembunyian disaat ada peperangan. Dilubang itulah ia menyerahkan dirinya kepada Tuhan dan masyarakat yang ikut bersama dia bersembunyi di lobang itu. Ia percaya, bahwa Tuhan Allah selalu yang setia, pasti menjaga Israel tidak pernah terlelap (Ibr 11: 38).
Keesokan harinya, berita kedatangan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen telah tersiar di Pangaribuan, maka mereka pun memohon kepada Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen untuk mendamaikan peperangan mereka. Atas penyertaan Tuhan, masyarakat yang sedang berperang itu dapat rukun kembali. Setapak demi setapak perjalanan pun mereka lanjutkan. Dan ketika mereka sampai di antara Desa Lumban baringin – Sipoholon dan Pansur Napitu, artinya mereka telah sampai di Bukit Siatas Barita (= Tempat Salib Kasih sekarang).

6.       Janji Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen untuk tanah Batak:  Dari puncak bukit Siatas barita, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen telah dapat melihat keindahan “RURA SILINDUNG”, panorama yang indah, perkampungan masyarakat yang indah, persawahan yang melintang panjang, air Sigeaon yang mengalir dengan lembutnya. Tentu hati Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun sangat tertarik dan senang untuk tinggal di SILINDUNG. Di Bukit Siatas Barita Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen berbicara kepada Tuhan :”MANGOLU MANANG MATE PE AHU, SANDOK DI BANGSO NA HINOPHOPMON MA AU MARINGANAN,  PARARATHON HATAM DOHOT HARAJAONMU” (= Mati maupun hidup, aku akan melayani bangsa yang telah ditebus Kristus, untuk mewartakan Firman Allah dan kerajaanNya”. Mereka turun dari Bukit Siatas Barita melalui perkampungan Sipinggan sampai di Sait ni huta - Tarutung.


Para raja dan masyarakat terkejut melihat kehadirannya di Sait ni huta, mereka pun bertanya tentang apa maksud kehadirannya di sana. Dari sekian banyak pertanyaan para raja dan masyarakat yang diajukan kepada Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, ia pun memberikan jawabannya demikian: “Aku mau mendirikan rumahku di antara kamu, untuk mengajarkan tentang barangsiapa yang mau berbahagia (= Martua), dan memperoleh pengetahuan (= Parbinotoan).
Diwaktu senggang Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun memainkan harmonikanya dengan suara lagu-lagu rohani yang biasa dia buat untuk cari perhatian pendengarnya. Lagi pula Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen telah memahami kejiwaan orang Batak yang suka akan lagu-lagu. Disaat itu ada Pasar, yang disebut Onan Sitahuru, para raja-raja pun datang untuk mengulang cerita tentang kehadiran Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen di Silindung. Para raja-raja menuding Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen sebagai mata-mata kompeni Belanda yang mau merampas tanah mereka, jika hal itu terjadi maka kepala Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen akan dipenggal ditengah pasar Sitahuru. Namun Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen dengan rendah hati menjawab: “Itu semua tak mungkin dapat kamu lakukan, karena hal itu tidak dikehendaki Tuhan”.
Seminggu setelah perdebatan yang sengit itu terjadi, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun menjelaskan kehadirannya di Silindung. Ia adalah seorang Pendeta, dan ia bukan suruhan Kompeni Belanda seperti yang dituduhkan raja-raja itu.  Selanjutnya para raja-raja pun menerima dan mendukung kehadirannya di Silindung. Sekalipun ia telah sampai di Silindung, namun ia masih tetap tinggal di Bunga Bondar Sipirok sampai bulan Mei 1864. 

7.       Pada bulan Mei 1984, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen kembali lagi ke Silindung, tetapi keadaan sangat menyedihkan, sebab SOPO (= Tempat padi jika panen) yang menjadi tempat tinggal Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, tidak dapat di huni lagi karena sudah panen, pemilik Sopo pun mengusir Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen. Pada akhirnya, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun membeli sebuah rumah salah seorang keluarga yang sering diserang penyakit. Rumah ini dibeli Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, dengan tujuan raja-raja yang menolak dia serta pemilik rumah itu, agar Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun diserang penyakit yang dimaksud. Sebagai hamba Allah Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, tidak pernah lelah dan pantang menyerah. Setelah ia tinggal di Huta Dame (= Sait ni huta).  Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun mau membangun rumah itu serta menyuruh masyarakat untuk mengambil bambu, kulit kayu ke hutan, namun mereka sangat licik. Mereka tidak tepat janji, mereka mau disuruh Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen mengambil bambu dan kulit kayu, tetapi tidak mereka tepati, mereka lama-lama , bahkan seminggu dengan maksud supaya harian mereka ditambah oleh Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, sekalipun tugas mereka tidak dilaksanakan.
Melihat keadaan ini hati Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun jadi sedih, sebab bambu dan kulit kayu tidak kunjung tiba, namun gaji mereka tetap dibayar. Tentu orang yang disuruh Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen mengambil bambu dan kulit kayu itu menjadi bahan ejekan dari orang yang menerima dan mendukung kehadiran Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen di Silindung.

8.       Pada tgl. 12 Juni 1864, Pembangunan rumah pun sudah selesai yang dibuat dari bambu dan kulit kayu yang diikat dengan rotan. Suatu saat kelompok penjahat yang mau mencelakai Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen mencoba memotong rotan pengikat bangunan rumah itu. Tetapi Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen melihatnya dan memperbaikinya kembali. Tempat kediaman Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen disebut GODUNG (= Sebutan yang biasa dipakai sebagai tempat kediaman Hamba Allah).
Disaat peresmian rumah Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, para raja dan masyarakat Silindung memohon kepada Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen untuk memotong kerbau yang akan dibagi-bagikan kepada masyarakat. Namun, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, memahami kejiwaan termasuk tradisi orang Batak saat itu, jika salah membagi jambar (= Bagian masing-masing), bisa nantinya menimbulkan permusuhan maupun peperangan di antara mereka. Maka hal itu pun tidak dilaksanakan, sehingga para raja-raja dan masyarakat menyebutkan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen sebagai orang pelit (= Naholit). Dan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun meng“Ya”kan ejekan mereka, dan mereka pun tertawa terbahak-bahak.

Para raja-raja yang menganggap lebih hebat akan tetap berusaha menghalangi kehadiran Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen di Silindung, tujuan mereka adalah untuk mencari perhatian Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen supaya bersahabat (= Maraleale) dengan mereka.

9.      Pada Tgl. 30 Juni 1864. Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen menelusuri tentang kematian Samuel Munson dan Henry Lyman yang mati dibunuh di Sinaksak, (= Bahkan menurut cerita, kedua Pendeta ini dimakan di Lubu Pining jalan Sibolga).
Di saat itu Raja Panggalamei Lumbantobing, duduk di rumahnya, dan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun masuk ke rumah itu dan duduk mendekati raja Panggalamei. Melihat kedatangan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, raja Panggalamei pun bagaikan disambar petir, tidak dapat bicara apa-apa. Lalu masyarakat Lobu Pining mengajak raja Panggalamei untuk menyediakan tikar, disitulah raja Panggalamei dapat bergerak dan berkata: “Aku panggil dulu isteriku untuk menyediakan nasi bagi kamu”. Tetapi hal ini adalah bahasa bohong dari raja Panggalamei karena dia telah merasa malu dan takut.
Tigalupuluh tahun telah berlalu setelah ia membunuh Samuel Munson dan Henry Lyman, sekarang tiba-tiba muncul Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, seperti yang datang dari langit duduk disampingnya, keadaannya sama seperti Samuel Munson dan Henry Lyman (= Sibontar mata = Sebutan orang Batak kepada orang Eropa).
Ancaman demi ancaman telah dilalui Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, yang paling hebat adalah kesepakatan para raja-raja dan masyarakat untuk membuat pesta di Bukit Siatas Barita, dengan tujuan untuk mempersembahkan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen kepada berhala di Bukit Siatas Barita pada Tgl. 23 September 1864. Para raja dan masyarakat yang setia mengikuti Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, menceritakan hal itu kepadanya, lalu Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, membuat lima belas surat kepada raja-raja, jika pesta itu diadakan jangan terjadi permusuhan. Salah seorang raja berkata kepada Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen: “Bersiaplah, sediakanlah langkahmu, sebab engkau akan mati”.
Rencana Tuhan lain daripada rencana manusia. Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun mempersiapkan dirinya untuk menghadiri pesta yang akan dilaksanakan di Pasar Sitahuru. Rumah pun telah disediakan raja-raja sebagai tempat penyembahan berhala bagi penghuni bukit Siatas barita. Begitu juga korban sembelihan seperti kerbau yang biasa dipersembahkan kepada berhala.
Menurut kebiasaan, jika diadakan penyembahan berhala kepada penghuni bukit Siatas Barita, selalu diawali dengan pemotongan kerbau yang akan dibagi-bagikan kepada masyarakat sebagai tanda keikutsertaan mereka menyembah berhala yang dianggap penghuni Bukit Siatas barita. Selama 4 – 7 hari, mereka menari-nari sambil mengelilingi kerbau yang dipersembahkan kepada berhala itu, sehingga kerbau itu menjadi busuk, lalu kerbau itu dibagi-bagikan kepada masyarakat yang menolak Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, dan mereka pun jatuh sakit.
Disamping menarinari, juga diadakan perkelahian anak-anak dan pemuda, yang dilanjutkan dengan perkelahian para bapak-bapak. Tetapi, hal ini tidak terjadi, sebab TANGAN TUHAN TELAH TERBENTANG DI SANA. Hati Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen sangat bersyukur kepada Tuhan, sebab para raja dan masyarakat telah menyembah Tuhan yang Mahakuasa melalui Yesus Kristus Raja Gereja.
Disaat pesta itu diadakan, raja Panggalamei pun datang untuk menagih tebusan seorang pemuda yang diselamatkan murid dari Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen. Dalam kesempatan itu Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen menceriterakan kasih karunia Allah, melalui pengampunan Yesus Kristus terhadap manusia yang penuh dosa, tetapi hal itu tidak masuk akal raja Panggalamei, sebab ia meniadakan kebenaran pem-bunuhan terhadap Pendeta Samuel Munson dan Henry Lyman, yang pada akhirnya raja Panggalamei di sambar petir, yang membuat tubuhnya mati sebelah  sampai pada hari kematiannya. Karena penyertaan Tuhan dan damai sejahtera telah terjadi saat itu maka seluruh raja dan pengetuai masyarakat meminta kepada Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen untuk menambah Pendeta di daerah Silindung.
Sebagai peringatan perjanjian itu, maka disebutlah tempat itu: HUTA DAME (= Kampung Perdamaian). Banyak hal yang telah terjadi di Huta Dame ini, orang-orang yang sudah dibabtis ditolak keluarganya dan mereka pun menjadi tinggal di Huta Dame. Begitu juga banyak orang yang mau menyerang, menyerbu rumah Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, tetapi semuanya gagal. Disaat suatu penyakit yang melanda Silindung, penyakit itu disebut “Penyakit robu”, semua orang penghuni Huta Dame selamat dari serangan penyakit itu. Semuanya itu terjadi, bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah (Lukas 1: 37).  
10. Zoar – Pansur Napitu: Melihat perkembangan Kerajaan Allah di Silindung yang di dalamnya adalah (Hutabarat, Hutagalung, Panggabean, Hutatoruan (Banuarea) dan Pansur Napitu), maka Pdt. Johansen yang baru saja datang dari Noordstrand bersama isteri Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, sekaligus ikut melayani di Silindung.
Selama pelayanannya di Silindung, ia pun mengalami banyak tantangan, raja-raja menolak dia di Hutabarat dan Panggabean, karena tidak ada uang seribu rupiah membayar tanah. Dan barang-barangnya pun habis dicuri orang yang tidak bertanggungjawab. Ia mengalami penyakit kakinya bengkak, sehingga sulit sembuh. Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun menjemput Pdt. Johansen dari Zoar Pansur Napitu untuk menjalani pemulihan.
Pdt. Johansen memberi nama pargodungan Pansur Napitu, ZOAR, karena Pdt. Johansen telah menyembuhkan seorang ibu yang dirasuki roh jahat. Ketika Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen menjemput Pdt. Johansen dari Zoar Pansur Napitu, maka semua orang yang menyembah berhala sangat bersukacita. Mereka mengadakan pesta besar-besaran, karena mereka menganggap keKristenan telah gagal dan dapat dikalahkan.
Di Zoar Pansur Napitu ini, telah terjadi pengakuan dari salah seorang yang masuk Kristen, yang mengatakan: “Berhala adalah pendusta dan penipu, hanya Tuhan Allah yang benar dan pantas di puji dan disembah”. Mendengar pengakuan ini alangkah senangnya hati Pdt. Johansen, sebab Firman Tuhan telah nyata dan menang di Zoar Pansur Napitu.

11.  Pada Tgl. 24 Desember 1868, Gubernur Padang yang bernama Ariens datang ke Huta Dame Silindung, untuk ramah tamah dengan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen. Menurut raja dan masyarakat saat itu, akan terjadi lagi peperangan Bonjol (= Perang Imam Bonjol – Paderi yang berpusat di Padang). Selama enam hari Gubernur Ariens di Huta Dame.
Dia adalah seorang saleh yang ikut serta mendukung pelayanan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen. Disamping dukungannya kepada pelayanan Kerajaan Allah, mereka pun pergi ke Sigompulon Pahae melihat tempat berhala yang ada di Namora langit Sigompulon Pahae (= Tempat balerang, yang saat ini sedang di usahakan Uni Loka atau  gas bumi yang ada di Pahae).
Mereka sangat tercengang melihat belerang yang mendidih, karena tempat itu adalah air panas, yang didalamnya terjadi lumpur panas. Dari Sigompulon, mereka menuju Pangaloan dan Sipirok. Tugas mereka saat itu adalah, melepaskan setiap orang yang dililiti hutang dan pelepasan anak-anak yang diculik maupun yang dirampas secara paksa untuk mengharap tebusan.
  
12. Untuk mempermudah pelayanan di Silindung, umumnya di tanah Batak, maka Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, menyalin Alkitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak Toba dan latin, pada tahun 1878.

13.  Menjadi Ephorus HKBP: Pada tahun 1881, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, terpilih menjadi Ephorus pertama di HKBP, yang dijuluki sebagai Apostel orang Batak.

14.  Pada Tgl. 23 Mei 1918: Pelayanan terakhir Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen di Sigumpar – Porsea, sungguh luar biasa. Dia mengalami banyak cabaan. Anak dan anjingnya di racun masayarakat Sigumpar, anjingnya mati dan anaknya jatuh sakit.
Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, tetap dalam pendiriannya berkata kepada raja-raja dan masyarakat Toba: “Mati atau hidup, Saya akan mendirikan rumah Saya di kampung kalian ini”, ujarnya.
Selama lebih kurang dua tahun Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen melayani orang-orang penyembah berhala di Sigumpar – Toba. Pada akhir hidupnya, ia pun mengalami penyakit, dan akhirnya ia meninggal dunia di Sigumpar (Persis di belakang Gereja HKBP IL Nommense Sigumpar – Toba).

Minggu, 04 Mei 2014

Mengapa orang Kristen tidak disunat? (Makna Sunat di dalam Kekristenan)



 

Makna Teologis Sunat Hati
(Ulangan 30:6; Roma 2:28-29)

I. Pendahuluan
Menurut W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), sunat adalah dikhitankan; dikerat kulupnya.[1] Tradisi Israel tidak mempunyai pendapat yang sama dalam memberi arti yang asli pada sunat itu (Kej 17:23-27; Kel 4:25; Yos 5:2-10). Sejak zaman mula-mula Israel memandang sunat sebagai tanda perjanjian (Kis 7:8), tanda menjadi milik Yahweh atau menjadi persekutuan agama Israel (Kel 12:48; Rom 4:11), di mana sunat juga dipandang sebagai tanda yang khas dengan bangsa lain (Hak 14:3; I Sam 14:6).[2]
Sunat merupakan suatu topik yang dibicarakan dalam dunia PL dan PB. Dikatakan sebagai suatu topik yang dibicarakan karena hampir setiap sesuatu yang berhubungan dengan sunat tersebut mendapat tempat yang penting dalam dunia PL dan PB. Sunat sudah pasti memiliki latar belakang, metode dan tujuan tertentu, misalnya dalam PL: sunat merupakan tanda perjanjian dengan Allah Yahweh. Sunat yang dimaksudkan dalam hal ini adalah sunat hati. Sebagian orang atau beberapa agama pada masa kini masih banyak yang menganggap bahwa sunat harus sama seperti khitanan. Dengan kata lain tidak mengenal apa itu sunat hati, pengertian yang demikian juga mungkin masih dimiliki pemeluk agama Kristen.
Dalam pemaparan di atas, masih ada beberapa kelompok atau beberapa agama yang masih melakukan sunat yang dimaksudkan dalam arti khitanan dan melupakan tentang sunat hati. Karena alasan inilah maka penyaji melalui sajian ini mencoba menjelaskan  mengenai “Makna Teologis Sunat Hati”. Untuk mempermudah memahami sajian ini penyaji membuat sistematika penulisan sebagai berikut:
I.                   Pendahuluan
II.                Pengertian Sunat
            Sunat dalam PL
            Sunat dalam PB
III.             Analisis Tekstual PL
3.1. Latar Belakang Kitab Ulangan
3.2. Kajian Teks Ulangan 30:6
            IV.       Analisis Tekstual PB
                        4.1. Latar Belakang Kitab Roma
                        4.2. Kajian Teks Roma 2:28-29
            V.        Refleksi Teologis
            VI.       Kesimpulan
            Kepustakaan

II.        Pengertian Sunat
            2.1. Sunat dalam PL
Sunat berasal dari bahasa Ibrani, yaitu: מּ, yang memiliki arti: “menyunat”.[3] Sunat merupakan tanda perjanjian yang diadakan Allah dengan Abraham, maka kepada Abraham diberikan Allah tanda sunat. Setiap laki-laki di dalam rumahnya dan diantara keturunannya haruslah disunat. Penyunatan ini harus dilakukan waktu anak itu masih berumur 8 hari. Jika seseorang dari keturunannya Abraham tidak memenuhi perintah Allah ini, maka ia akan memutuskan perjanjian dengan Allah; ia akan dihukum, akan dibasmi, ia akan mati oleh karena pelanggaran terhadap perjanjian itu.
Sunat itu adalah suatu sakramen, suatu tanda dan cap. Tanda adalah sesuatu yang dapat dilihat untuk menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat; dan cap adalah suatu pertanda yang menjamin ketulenan sesuatu.[4] Pada penyunatan itulah anak diberi nama. Bangsa lain yang mau masuk anggota Israel dapat diterima jika dia telah disunat.[5]
Ayat yang terdapat dalam Ulangan secara jelas mengatakan bahwa sunat yang benar adalah sebuah pekerjaan Allah dalam hati manusia – kehidupan spiritual yang kepada Allah dalam umat-Nya. Penggunaan kata kerja dalam Dt. 30:6, merupakan pendapat yang lebih tinggi bahwa sunat adalah disimbolkan sebagai hal yang lebih dalam terhadap kehidupan bangsa Israel.[6]
Yang penting dari sunat sebagai sebuah tanda dari Perjanjian dengan Allah, oleh karena itu semuanya ditekankan dengan kuat.[7] Demikian juga halnya dengan sunat hati. Sunat hati merupakan janji Allah supaya umat-Nya hidup (Ul. 30:6).

2.2. Sunat dalam PB
Kata yang dipakai untuk sunat dalam bahasa Yunani adalah: περιτομή, yang memiliki arti: sunat (sebagai suatu upacara keagamaan), juga merupakan bentuk kiasan.[8] PB dengan tegas dan pasti bahwa: tanpa ketaatan, sunat adalah omong kosong (Rm. 2:25-29). Tanda lahiriah pudar tanpa arti jika dibandingkan dengan menaati perintah-perintah, iman bekerja oleh kasih (Gal. 5:6). Namun orang Kristen tidak bisa bebas memandang rendah tanda itu. Walaupun sejauh tanda itu mengungkapkan keselamatan karena pernuatan-perbuatan hukum, orang Kristen harus menghindarinya (Gal 2:2 ff). Namun dalam arti batiniah orang Kristen memerlukannya (Kol. 2:13; bnd. Yes. 52:1). Justru ada “Sunat Kristus”, berupa penanggalan tubuh (bukan hanya sebagian) yang berdosa, suatu perbuatan rohani, yang tidak dilakukan oleh tangan manusia.[9]
Sunat mungkin disaksikan oleh orang-orang Yahudi yang moderat sebagai suatu usaha yang dibuat dalam periode PL untuk membuat hal itu “keluar” dan menjadi tanda yang tampak dari dalam dan merupakan anugerah spritual. Dengan demikian apa yang dibaca dalam Ul. 10:16 : sunat hati dan tidak lagi melakukan kekerasanmu. Arti dari hal itu membuat jelas Ul. 30:6 “Yahweh, TUHANmu akan menyunat hatimu, dan hatimu melihat untuk mengasihi Yahweh TUHAN Allahmu dengan seluruh hatimu dan seluruh jiwamu dengan kehidupanmu. Padahal inilah etika diberikan kepada sunat, dengan mengartikan hal itu sebagai suatu indeks dari bagian atau sikap dari hati. Demikian pula penggunaan dari hal tersebut ditemukan dalam Yer 4:4, Im. 26:41. Jalan lintas ini memberikan konsep Paulus bahwa sunat yang nyata adalah pengalaman inti (Rm. 2:28-29; Kol. 2:11).[10]

III.       Analisis Tekstual PL
            3.1. Latar Belakang Kitab Ulangan
Selama tiga puluh tahun sesudah orang Israel menolak memasuki tanah Kanaan, mereka berdiam di Padang Paran dan Kadesy-Barnea, sampai generasi yang keluar dari Mesir mati semuanya. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan mereka melalui jalan memutar lewat Edom, sampai mereka berkemah di Moab, menantikan perintah akhir untuk memasuki dan menduduki tanah yang dijanjikan Allah kepada nenek moyang mereka. Saat itu adalah saat yang khidmat.
Menurut kitab Ulangan, Musa mengambil kesempatan itu untuk memberi tiga amanat kepada orang Israel, yang merupakan amanat perpisahannya karena ia telah diberitahu, bahwa ia tidak dapat memasuki tanah perjanjian itu bersama mereka. Isi amanat itu terdapat dalam kitab Ulangan. Yang pertama diberikan “di seberang sungai Yordan, di lembah di tentangan Bet-Peor, di negeri Sihon, raja orang Amori” (ay. 46). Yang ketiga diberikan “di tanah Moab” (29:1). Sangat mungkin ketiga amanat itu disampaikan di lokasi yang sama.[11]
Menurut teori Graf-Wellhausen tentang komposisi Pentateukh, ada empat sumber yang disebut J, D, E, dan P. Sumber D adalah bagian utama dari Kitab Ulangan ini.[12]
Sisa-sisa Israel yang berada dalam posisi kritis dalam sejarah mereka, dan sekalipun moral umum mereka tinggi, namun setelah itu neraka berada di bawah pimpinan baru, di mana harus menghadapi godaan-godaan berat dan ujia-ujian yang pelik. Pimpinan yang baru, yang hingga kini masih harus membuktikan diri sebagai ahli perang dan ahli pemerintahan yang baik.
Pada saat inilah Musa, yang diberitahu kematiannya, memanggil orang-orang berkumpul. Dalam pidato-pidatonya Musa mengingatkan mereka akan perbuatan-perbuatan Allah yang Maha Kuasa, yang telah diperbuat demi kepentingan mereka. Dengan mengingat penaklukan Kanaan yang akan datang, Musa memberikan garis besar anggaran dasar yang ditetapkan bagi ilahi bagi teokrasi baru (Teokrasi adalah pemerintahan Allah atau oleh wakil Allah)[13], yang akan didirikan di negeri Perjanjian itu.[14]
Kitab Ulangan berisikan pidato-pidato Musa pada bulan-bulan terakhir dari hidup-hidupnya, yang ditujukan kepada orang Israel, ketika mereka dikumpulkan di Moab. Kitab ini melanjutkan tradisi yang tersimpan dalam Kitab Keluaran, yakni bahwa Musa terbiasa mencatat kejadian-kejadian, peraturan-peraturan dan bahan-bahan lain. Kitab ini menuntut bahwa pada pokoknya adalah karya Musa, pemberi hukum Ibrani yang besar itu sendiri.[15]

3.2. Kajian Teks Ulangan 30:6
Tuhan akan menyunat hatimu”. Apa yang sebenarnya merupakan penyunatan lahiriah, yaitu: sakramen penyerahan diri pada zaman Perjanjian Lama, akan diwujudkan secara rohani oleh kasih Allah (bnd. 10:16; Yer. 31:33, dst; 32:39,dst; Yeh. 11:19; 36:26, 27).
Sebagaimana tampak dalam perkembangan tema ini pada zaman para nabi, pembaharuan dan pemulihan yang dinubuatkan oleh Musa adalah yang dilaksanakan oleh Kristus pada zaman Perjanjian Baru. Nubuat tersebut tidak hanya secara sempit menyangkut hanya orang Yahudi berdasarkan etnik, tetapi dengan seluruh masyarakat perjanjian yang di PL secara konkrit berarti Israel. Meskipun demikian, dalam suasana PB tembok-tembok perbedaan etnik diruntuhkan. Oleh karena itu, gambaran PL yang dipakai di sini tentang orang-orang Israel yang dibuang dan dikumpulkan kembali bagi Tuhan di Yerusalem (30;3b-4; bnd. 28:64) digenapi sepenuhnya dalam kumpulan orang-orang berdosa PB secara universal, yaitu: mereka yang terbuang dari Firdaus, yang kembali kepada Tuhan Yesus yang bertahta di Yerusalem Surgawi.[16]
Untuk menghindarkan keputusasaan Israel oleh karena kegagalan mereka, Allah akan memberikan sumber ketaatan, sesuatu yang dulunya tidak dimiliki. Israel tidak akan lagi bersandar pada kekuatannya sendiri, melainkan akan menerima sebuah hati yang sudah disunat oleh Allah dan mampu untuk mengadakan perjanjian yang baru (ay.6).[17]

IV.       Analisis Tekstual PB
            4.1. Latar Belakang Kitab Roma
Surat kepada Orang Kristen di Roma merupakan hasil matang dari pengalaman dan pemikiran Paulus selama lebih kurang 20 tahun. Ia sendiri memberitahukan kepada sidang pembaca bahwa sudah lama berkarya dan pergi ke mana-mana dan di kawasan timur (Rm. 15:19). Kini ia mau membuka tahap bari dalam kerasulannya (Rm. 15:23-32). Pada kesempatan itu Paulus seolah-olah beristirahat sebentar guna mengolah serta mengatur pengalaman dan pikirannya, lalu menuangkannya dalam sebuah karang yang tersusun dengan cukup baik.[18]
Surat ini ditulis oleh Paulus pada saat perjalanan ketiganya unuk memberitakan Injil. Tanggal penulisan surat ini berkisar  53-58 M. Tahun 55 atau 56 M rupanya merupakan penulisan yang paling mungkin untuk surat ini.
Paulus mengawali suratnya ini dengan ulasan pendahuluan untuk mempersiapkan pembaca menerima segala hal yang hendak ia tulis (1:1-17), jadi dia menjalin suatu hubungan yang bagus antara dirinya dengan pembacanya. Paulus kemudian mengemukakan pokok surat yakni: pentingnya kebenaran di dalam hubungan manusia dengan Allah (1:18-8:39).
Selaku orang Yahudi, Paulus memandang manusia sebagai terdiri atas dua golongan, yaitu: Yahudi dan bukan Yahudi. Selaku orang Kristen Paulus menjawabnya dengan memberikan suatu ulasan tentang rencana Allah bagi orang Yahudi (9:1-11:36). Di bagian ini Paulus meletakkan sebuah landasan yang nyata bagi filsafat sejarah Kristen.
Sebagai penutup, dia menunjukkan betapa ia sangat menaruh perhatian terhadap orang-orang percaya di Roma (15:14 – 16:27). Mereka berada di wilayahnya dan dia bermaksud mengunjungi mereka sampai hal itu bisa terlaksana, dia harus mengirim salam kepada mereka lewat surat, memberikan suatu peringatan terakhir dan menyerahkan mereka kepada Allah yang adalah satu-satunya pihak yang dapat membangun mereka.[19]
Dari ps. 1:18 – 3:20, Paulus memperlihatkan betapa besarnya kebutuhan manusia akan Injil. Mula-mula ia memperlihatkan keadaan bangsa-bangsa non-yahudi (1:18-32); kemudian menunjukkan bahwa keunggulan Israel melulu omong kosong, karena orang Yahudi sudah diserang bencana dosa juga (2:1-3:20). Meskipun mula-mula nama bangsa itu tidak disebut, namun ayat-ayat berikutnya bahwa yang dimaksud adalah bangsa Yahudi. Cara ini tidak menimbulkan prasangka dalam hati orang Yahudi yang membacanya. Uraian mula-mula sedemikian umum dan sederhana, sehingga orang Yahudi terpaksa membenarkan sebelum sadar bahwa dirinyalah yang dikenal uraian itu.[20]

4.2. Kajian Teks Rm. 2:28-29
Dalam pasal 1-3, Paulus mengupas soal sengsara, yaitu keadaan umat manusia yang berdosa. Bukan hanya orang-orang yang bukan Yahudi saja (pasal 1), tetapi juga orang-orang Yahudi (ps. 2), bahkan semua manusia akan binasa selama-lamanya, seandainya Tuhan Yesus tidak datang menyelamatkan manusia (ps. 3).[21]
Dalam penerjemahan Rm. 2:28-29, terdapat perbedaan LAI dan Bahasa Yunaninya. Dalam LAI “yang disebut” merupakan terjemahan έστιν, “adalah”. Kata “secara lahiriah” (ay. 28a) yang pertama adalah terjemahan τώ φανερώ = “dalam kenyataan”, “yang tampak”. Yang kedua merupakan terjemahan έν σαρκί (ay. 28c) = “dalam daging”. “(Tetapi) orang Yahudi sejati ialah (dia yang)”, merupakan ulangan yang tidak ada dalam naskah Yunani.[22]
Dalam ayat 28-29a, Paulus menggabungkan unsur-unsur janji-janji Tuhan dalam PL yang berisi tentang sunat hati, maksudnya hendak menggambarkan mereka yang sungguh-sungguh melakukan Hukum Taurat, “orang-orang Yahudi sejati”. Ternyata mereka adalah orang-orang yang menyimpan Hukum Taurat dalam batin, yang telah menerima sunat hati, yang dijiwai bukan oleh hukum tertulis, melainkan oleh Roh. Sunat pada badan tidak menjamin orang termasuk golongan ini. Sama seperti Hukum Taurat, sunat barulah bermakna bila sifat-sifat tersebut terdapat dalam hati orang yang bersangkutan.
Hanya, Paulus maju lebih jauh dibandingkan para penulis PL yang telah menyatakan hal yang sama. Sebab (ay.27) ia mengenakan sifat-sifat tadi (yang sekaligus merupakan janji-janji) kepada orang-orang non-Yahudi. Dengan demikian ia membuka cakrawala yang dalam PL barulah kelihatan samar-samar, dan yang malah sama sekali tidak terdapat dalam agama Yahudi pada masa antar-perjanjian, yang bagaimanapun tetap menuntut supaya orang non-Yahudi yang mendapat bagian dalam janji-janji itu menjadi orang Yahudi dulu. Tetapi ia berbuat demikian karena sudah mengenal Kristus.[23]
Dalam ay. 29b, kalimat ini dapat ditafsirkan secara umum: yang penting ialah supaya Allah berkenan akan kita, bukan manusia. Wawasan seperti itu terdapat juga dalam karangan filsafat Yunani (Stoa). Tetapi perbandingan dengan 1 Kor. 4:6, memperlihatkan kepada kita bahwa yang dimaksud Paulus ialah pujian dari Allah dalam pengadilan terakhir, bnd. Mat. 25:21, 23. Dibandingkan dengan pujian itu, pujian dari pihak manusia tidak penting, bahkan dapat saja menyesatkan:

Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa Paulus memang beberapa kali menyatakan orang Kristen perlu mencari pujian dari pihak manusia. Namun, dalam hal itu manusia tersebut bukanlah sembarang manusia, melainkan jemaat Kristen, yang merupakan tubuh Kristus (2 Kor. 8:18), dan pemerintah duniawi yang ditetapkan oleh Allah sebagai hambaNya (Rm. 13:3-4).

Maka, jelaslah yang digambarkan dalam ay. 28-29 ini bukan lagi (seperti halnya ay. 14ff) sembarang orang kafir yang telah menjadi ahli waris janji-janji para nabi itu. Dengan perkataan lain: orang Kristen dari lingkungan kekafiran.
Hanya saja, Paulus belum terang-terangan mengatakan hal itu. Dalam pasal 2 ini tujuannya adalah membuktikan kepada orang Yahudi (Kristen) bahwa ada kebenaran di hadapan Allah yang tidak terikat pada hukum Taurat dan sunat (1:16-17; 3:21). Ternyata ada. Hal itu tampak samar-samar dalam dunia kafir (14) dan dikatakan terang-terangan oleh Alkitab dalam PL. Dalam 3:21, Paulus akan mengatakan mereka yang telah memperoleh kebenaran tersebut. Tetapi dalam pasal 2 ini, termasuk dalam ay. 28-29, mereka belum berwujud. Masih berlakulah hukuman ilahi atas seluruh umat manusia, baik orang kafir maupun orang Yahudi.[24]

V.        Refleksi Teologis
Beberapa atau banyak kelompok menganggap bahwa sunat hanya dalam bentuk khitanan. Namun dalam Ul. 30:6 dan Rm. 2:29, terdapat sunat hati.
Sunat hati sangatlah dibutuhkan pada zaman sekarang ini. Di mana dunia menghadirkan hal-hal yang mambuat manusia semakin mudah tergoda untuk meninggalkan jalan Tuhan. Apabila seseorang melakukan sunat lahiriah, maka akan ada bagian yang dibuang, demikian juga dengan sunat hati. Segala sesuatunya yang berbentuk negatif akan dibuang dari dalam hatinya, sehingga kembali kepada jalan yang diinginkan oleh Tuhan. Seseorang yang mampu melakukan sunat hati akan beroleh hidup yang daripada Allah (Ul.30:6).
Ada kebanggaan ataupun upah kepada orang yang dapat melakukan sunat hati. Yang melakukannya akan mendapat pujian yang berasal bukan dari manusia, melainkan mendapat pujian dari yang menciptakan seluruh bumi dan isinya, yaitu Allah (Rm. 2:8-9), sedang dalam Ul. 30:6, seseorang yang mampu melakukan hal itu akan beroleh hidup yang juga berasal dari Allah. Ini berarti segala sesuatunya yang ada pada manusia hanyalah bersifat sementara dan dapat hilang tetapi tidak begitu dengan Tuhan. Segala sesuatunya yang berasal dari Dia adalah kekal dan tidak berkesudahan, bahkan sampai kepada keturunan-keturunan umat-Nya yang mampu melakukannya (Ul. 30:6). Memang banyak halangan dalam melakukannya, namun upahnya akan sangat berdampak dalam kehidupan rohani kita.

VI.       Kesimpulan
Bagi sebahagian kelompok bahkan agama, sunat adalah secara lahir yang ditunjukkan lewat khitanan. Namun tidak demikian halnya dengan sunat hati. Sunat dalam PL adalah sakramen penyerahan diri kepada Allah. Jatuhnya bangsa Israel ke dalam dosa membuat Allah menginginkan pertobatan akan bangsa pilihanNya itu, sehingga bangsaNya beroleh kehidupan yang dari Allah (Ul. 30:6). Oleh karena itu, Allah melalui Musa menyerukan tentang adanya sunat hati, supaya segala tindakan manusia yang buruk ataupun yang negatif dari bangsa itu dibuang. Inilah yang mungkin bahkan pasti tentang apa yang dimaksud dengan sunat hati.
Demikian juga halnya dengan PB, Paulus mengetahui bahwa adanya kebanggaan bagi orang yang telah melakukan sunat dan orang Yahudi. Namun Paulus menegaskan bahwa sunat di dalam hatilah yang dapat ditunjukkan secara rohani yang sangat diinginkan Allah dilakukan oleh manusia. Seseorang yang mampu melakukannya akan mendapat pujian yang berasal dari Tuhan. Pujian yang dari Tuhan itu bersifat kekal dan tidak sementara seperti pujian yang berasal dari manusia.
Baik sunat hati dalam PL maupun PB, sama-sama mendapatkan upah yang langsung berasal dari Allah Sang Pencipta bagi yang mampu melakukannya dan itu dapat ditunjukkan lewat rohaninya.
Apabila seseorang melakukan sunat akan ada bagian yang dibuang, sama halnya dengan sunat hati. Bagian dari sifat hati yang buruklah yang dibuang, sehingga yang tinggal dalam hati hanyalah sifat-sifat hati yang positif  yang berkenan di hadapan Allah.
Mengasihi Allah dengan segenap hati dan menjalani hidup sesuai dengan yang berkenan kepadaNya sudah dapat dikatakan telah melakukan sunat hati. Dengan demikian sunat hati adalah sunat secara rohani yang tertuju kepadaNya. Kiranya setiap manusia dapat melakukan dan menjalankan sunat hati tersebut sehingga mendapat berkat yang melimpah dari Tuhan Allah.



[1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm. 976
[2] Herbert Haag, Kamus Alkitab, (Flores: Nusa Indah, 1984), hlm. 424
[3] Benjamin Davidson, The Analitycal Hebrew and Chaldee Lexicon, (Michigan: Zondervan Publishing House Academic and Professioanal Books, 1993), hlm. 492
[4] F. L. Baker, Sejarah Kerajaan Allah 1 (Perjanjian Lama), (Jakarta: BPK-GM, 2004), hlm. 128
[5] Ibid., hlm. 372
[6] R. Laird Harris (ed.), Theological Word Book of The Old Testament Vol. I dalam מל, (Chicago: Mody Press, 1981), hlm. 495
[7]  Roland de Vaux, Ancient Israel: Its Life in the Instutions, (London: Mc Graw-Hill Book Company, INC, 1986), hlm. 47-48
[8] Gerhard Friedrich (ed.), Theological Dictionary of New Testament (Vol. VI: πε-Ρ), (Michigan: WM. B Eerdmans Publishing Company, 1968), hlm. 82-83
[9] J.A. Motyer. Dkk “Sunat”, dalam J.D. Douglas (ed.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (Jilid II: M-Z), (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/IMF, 1995), hlm. 427
[10] James Hasting (ed.), Encyclopedi of Religion and Ethics; Vol. III (Burial – Confessions) dalam “Circumcission”, (New York: Charles Scribner`s Son`s, 1965), hlm. 680
[11] W.S. Lassor, dkk, Pengantar Perjanjian Lama I (Taurat dan Sejarah), (Jakarta: BPK-GM, 2001), hlm. 247
[12] Ibid., hlm. 250
[13] Gerald O Collins & Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 314
[14] G. T. Manley & R. K. Harrison, “Kitab Ulangan”, dalam -----, Tafsiran Alkitab Masa Kini (Jilid I: Kejadian-Ester), (Jakarta: YKBK/OMF, 2005), hlm. 292.
[15] Ibid., hlm. 291
[16] Charles F. Pfeiffer & Everett F. Harrison (ed.), Tafsiran Alkitab Wycliffe, Vol. I (Perjanjian Lama: Kejadian-Ester), (Malang:Gandum Mas, 2004), hlm.539-540
[17] Dianne Bergant & Robert J. Karris, Tafsiran Alkitab Perjanjian Lama, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 274
[18] C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm.220
[19] Charles F. Pfeiffer & Everet F. Harrison (ed.), Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol. III (Perjanjian Baru), (Malang: Gandum Mas, 2004), hlm. 509-510
[20] J. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab 4 (Roma-Wahyu), (Jakarta: YKBK/OMF, 2002), hlm. 22
[21] J. H. Bavinck, Sejarah Kerajaan Allah 2 (Perjanjian baru), (Jakarta: BPK-GM, 2004), hlm. 836
[22] Van den End, Tafsiran Alkitab: Surat Roma, (Jakarta: BPK-GM, 2006), hlm. 143
[23] Ibid., hlm. 146
[24] Ibid., hlm. 147-148