PARTISIPASI
Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen
Dalam Perkembangan Misi di Tanah Batak
1. Pdt. DR. Ingwer Ludwig
Nommensen lahir pada tgl. 06 Februari 1934 di Noordtrand Jerman, nama isterinya
adalah: Carolina Margareta Nommensen. Pada tahun 1861, Gereja Kesatuan Barmen
mengutus Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen untuk melayani di tanah Batak.
Persiapan yang begitu panjang, suka maupun duka telah di alami Pdt. Dr. Ingwer
Lodewijk Nommensen melayani di tanah Batak. Pada hari 16 Mei 1962, Pdt. DR.
Ingwer Ludwig Nommensen telah sampai di Padang dan melanjutkan perjalanannya ke
Sibolga, pada tgl. 16 Juni 1862.
2.
Awal pelayanan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, adalah di
Barus – Sibolga. Saat itu orang Batak sangat takut melihat orang yang disebut
“Sibontar Mata”, lagi pula komunikasi sangat-sangat sulit karena bahasa yang
berbeda. Namun atas penyertaan Tuhan pun dapat dilaksanakan dengan baik. Di
Barus, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, mengalami kejengkelan orang Batak,
sebab periuk yang penuh nasi di rumah Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, habis
dicuri mereka.
Disaat
Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen memainkan harmonikanya dengan suara lagu-lagu
rohani yang belum pernah didengar orang Batak. Saat itu raja-raja dan
masyarakat Barus berpikir, bahwa binatanglah yang bernyanyi itu. Karena
herannya, mereka pun meminta harmonika itu untuk mereka pegang dan untuk
dibunyikan, lalu Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun memberikannya, tetapi
telah lebih dahulu dibukanya alat tiupnya. Raja mencoba meniup harmonika itu,
tetapi tidak bisa dibunyikan. Lalu raja berkata, bahwa binatang yang dimaksud
mengenal tuannya, lalu raja itu mengembalikan harmonika itu kepada Pdt. DR.
Ingwer Ludwig Nommensen, karena tidak dapat dibunyikan.
Di
Barus Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, banyak mempelajari Bahasa Indonesia dan
Bahasa Batak, ditambah apa yang telah dipelajarinya selama di Kapal Laut dari
Pdt. Dr. Van der Tuuk. Masih banyak desa yang dikunjungi Pdt. DR. Ingwer Ludwig
Nommensen di Barus dan Sibolga.
3. Pada
tgl, 30 November 1862, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen kembali ke Sibolga,
mereka mengalami badai yang begitu dahsyat, karena gelombang laut yang tinggi,
namun atas penyertaan Tuhan, mereka pun selamat sampai di Sibolga. Pdt. DR.
Ingwer Ludwig Nommensen, melanjutkan perjalanannya ke Sipirok dan Sigompulon
Pahae. Mereka pun bertemu dengan Pdt. Van Asselt dan Pdt. Heine yang kebetulan
menghadiri rapat raja-raja di Sarulla Pahae.
Karena
Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen tidak mendapat Pdt. Heine di Sigompulon, maka
ia pun menjemput mereka ke Sarulla, tetapi di tengah jalan, mereka pun berjumpa
di hutan belantara yang pernah di alami di Pulau Sumatera.
4.
Rapat Pendeta pertama di tanah Batak – Parau Sorat – Sipirok:
Pada tgl. 07 Oktober 1861, diadakan rapat empat orang Pendeta di Sipirok antara
lain: Klammer, Betz, Heine, dan Van Asselt. Selanjutnya pada Tgl. 07 Oktober
1862, mereka pun menentukan program kerja yang segera dilaknasakan di Sipirok
Tapanuli Selatan.
Pdt.
Van Asselt melayani di Sarulla, sementara Pdt. Klammer di Sipirok. Pdt. DR.
Ingwer Ludwig Nommensen pun sementara menjadi tinggal di Parau Sorat – Sipirok,
yang seogiannya Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen akan berangkat ke Silindung
atau Tarutung.
5.
Pada Tgl. 07 November 1863, sesuai dengan pesan dari Badan
Zending Barmen Jerman, melalui inspektur Van Rhoden yang berpesan kepada Pdt.
DR. Ingwer Ludwig Nommensen: “Jangan
engkau melupakan pemberitaan Injil ke Silindung”. Untuk mewujudkan pesan
ini: Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, berangkat dari Bunga Bondar ke Silindung
melalui Simangambat, tentu ia menaiki kuda beban, sebagai alat transportasi
terhormat saat itu.
Disamping
perjalanan mereka menuju Silindung, saat itu sedang terjadi peperangan di
Pangaribuan. Mengingat kebiasaan, jika terjadi peperangan antara masyarakat,
maupun disebabkan serangan musuh, semua orang akan masuk ke lubang yang telah
disediakan para penduduk desa, maupun ke bukit-bukit gunung.
Disaat
peperangan itu terjadi Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun teringat tentang
perjuangan kekristenan yang mencari lubang sebagai persembunyian disaat ada
peperangan. Dilubang itulah ia menyerahkan dirinya kepada Tuhan dan masyarakat
yang ikut bersama dia bersembunyi di lobang itu. Ia percaya, bahwa Tuhan Allah
selalu yang setia, pasti menjaga Israel tidak pernah terlelap (Ibr 11: 38).
Keesokan
harinya, berita kedatangan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen telah tersiar di
Pangaribuan, maka mereka pun memohon kepada Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen
untuk mendamaikan peperangan mereka. Atas penyertaan Tuhan, masyarakat yang
sedang berperang itu dapat rukun kembali. Setapak demi setapak perjalanan pun
mereka lanjutkan. Dan ketika mereka sampai di antara Desa Lumban baringin – Sipoholon
dan Pansur Napitu, artinya mereka telah sampai di Bukit Siatas Barita (= Tempat
Salib Kasih sekarang).
6.
Janji Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen untuk tanah
Batak: Dari puncak bukit Siatas barita,
Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen telah dapat melihat keindahan “RURA
SILINDUNG”, panorama yang indah, perkampungan masyarakat yang indah, persawahan
yang melintang panjang, air Sigeaon yang mengalir dengan lembutnya. Tentu hati
Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun sangat tertarik dan senang untuk tinggal
di SILINDUNG. Di Bukit Siatas Barita Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen berbicara
kepada Tuhan :”MANGOLU MANANG MATE PE AHU, SANDOK DI BANGSO NA HINOPHOPMON MA
AU MARINGANAN, PARARATHON HATAM DOHOT
HARAJAONMU” (= Mati maupun hidup, aku akan melayani bangsa yang telah ditebus
Kristus, untuk mewartakan Firman Allah dan kerajaanNya”. Mereka turun dari
Bukit Siatas Barita melalui perkampungan Sipinggan sampai di Sait ni huta -
Tarutung.
Para
raja dan masyarakat terkejut melihat kehadirannya di Sait ni huta, mereka pun
bertanya tentang apa maksud kehadirannya di sana. Dari sekian banyak pertanyaan
para raja dan masyarakat yang diajukan kepada Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen,
ia pun memberikan jawabannya demikian: “Aku mau mendirikan rumahku di antara
kamu, untuk mengajarkan tentang barangsiapa yang mau berbahagia (= Martua), dan memperoleh pengetahuan (= Parbinotoan).
Diwaktu
senggang Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun memainkan harmonikanya dengan
suara lagu-lagu rohani yang biasa dia buat untuk cari perhatian pendengarnya.
Lagi pula Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen telah memahami kejiwaan orang Batak
yang suka akan lagu-lagu. Disaat itu ada Pasar, yang disebut Onan Sitahuru,
para raja-raja pun datang untuk mengulang cerita tentang kehadiran Pdt. DR.
Ingwer Ludwig Nommensen di Silindung. Para raja-raja menuding Pdt. DR. Ingwer
Ludwig Nommensen sebagai mata-mata kompeni Belanda yang mau merampas tanah
mereka, jika hal itu terjadi maka kepala Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen akan
dipenggal ditengah pasar Sitahuru. Namun Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen
dengan rendah hati menjawab: “Itu semua
tak mungkin dapat kamu lakukan, karena hal itu tidak dikehendaki Tuhan”.
Seminggu
setelah perdebatan yang sengit itu terjadi, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen
pun menjelaskan kehadirannya di Silindung. Ia adalah seorang Pendeta, dan ia
bukan suruhan Kompeni Belanda seperti yang dituduhkan raja-raja itu. Selanjutnya para raja-raja pun menerima dan
mendukung kehadirannya di Silindung. Sekalipun ia telah sampai di Silindung, namun
ia masih tetap tinggal di Bunga Bondar Sipirok sampai bulan Mei 1864.
7.
Pada bulan Mei 1984, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen kembali
lagi ke Silindung, tetapi keadaan sangat menyedihkan, sebab SOPO (= Tempat padi
jika panen) yang menjadi tempat tinggal Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, tidak
dapat di huni lagi karena sudah panen, pemilik Sopo pun mengusir Pdt. DR.
Ingwer Ludwig Nommensen. Pada akhirnya, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun
membeli sebuah rumah salah seorang keluarga yang sering diserang penyakit.
Rumah ini dibeli Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, dengan tujuan raja-raja yang
menolak dia serta pemilik rumah itu, agar Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun
diserang penyakit yang dimaksud. Sebagai hamba Allah Pdt. DR. Ingwer Ludwig
Nommensen, tidak pernah lelah dan pantang menyerah. Setelah ia tinggal di Huta
Dame (= Sait ni huta). Pdt. DR. Ingwer
Ludwig Nommensen pun mau membangun rumah itu serta menyuruh masyarakat untuk
mengambil bambu, kulit kayu ke hutan, namun mereka sangat licik. Mereka tidak
tepat janji, mereka mau disuruh Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen mengambil
bambu dan kulit kayu, tetapi tidak mereka tepati, mereka lama-lama , bahkan
seminggu dengan maksud supaya harian mereka ditambah oleh Pdt. DR. Ingwer
Ludwig Nommensen, sekalipun tugas mereka tidak dilaksanakan.
Melihat
keadaan ini hati Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun jadi sedih, sebab bambu
dan kulit kayu tidak kunjung tiba, namun gaji mereka tetap dibayar. Tentu orang
yang disuruh Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen mengambil bambu dan kulit kayu
itu menjadi bahan ejekan dari orang yang menerima dan mendukung kehadiran Pdt.
DR. Ingwer Ludwig Nommensen di Silindung.
8.
Pada tgl. 12 Juni 1864, Pembangunan rumah pun sudah selesai
yang dibuat dari bambu dan kulit kayu yang diikat dengan rotan. Suatu saat
kelompok penjahat yang mau mencelakai Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen mencoba
memotong rotan pengikat bangunan rumah itu. Tetapi Pdt. DR. Ingwer Ludwig
Nommensen melihatnya dan memperbaikinya kembali. Tempat kediaman Pdt. DR.
Ingwer Ludwig Nommensen disebut GODUNG (=
Sebutan yang biasa dipakai sebagai tempat kediaman Hamba Allah).
Disaat
peresmian rumah Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, para raja dan masyarakat
Silindung memohon kepada Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen untuk memotong kerbau
yang akan dibagi-bagikan kepada masyarakat. Namun, Pdt. DR. Ingwer Ludwig
Nommensen, memahami kejiwaan termasuk tradisi orang Batak saat itu, jika salah
membagi jambar (= Bagian masing-masing), bisa nantinya menimbulkan permusuhan
maupun peperangan di antara mereka. Maka hal itu pun tidak dilaksanakan,
sehingga para raja-raja dan masyarakat menyebutkan Pdt. DR. Ingwer Ludwig
Nommensen sebagai orang pelit (= Naholit). Dan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen
pun meng“Ya”kan ejekan mereka, dan mereka pun tertawa terbahak-bahak.
Para
raja-raja yang menganggap lebih hebat akan tetap berusaha menghalangi kehadiran
Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen di Silindung, tujuan mereka adalah untuk
mencari perhatian Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen supaya bersahabat (=
Maraleale) dengan mereka.
9.
Pada Tgl. 30 Juni 1864. Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen
menelusuri tentang kematian Samuel Munson dan Henry Lyman yang mati dibunuh di
Sinaksak, (= Bahkan menurut cerita, kedua
Pendeta ini dimakan di Lubu Pining jalan Sibolga).
Di
saat itu Raja Panggalamei Lumbantobing, duduk di rumahnya, dan Pdt. DR. Ingwer
Ludwig Nommensen pun masuk ke rumah itu dan duduk mendekati raja Panggalamei.
Melihat kedatangan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, raja Panggalamei pun
bagaikan disambar petir, tidak dapat bicara apa-apa. Lalu masyarakat Lobu
Pining mengajak raja Panggalamei untuk menyediakan tikar, disitulah raja
Panggalamei dapat bergerak dan berkata: “Aku panggil dulu isteriku untuk
menyediakan nasi bagi kamu”. Tetapi hal ini adalah bahasa bohong dari raja
Panggalamei karena dia telah merasa malu dan takut.
Tigalupuluh
tahun telah berlalu setelah ia membunuh Samuel Munson dan Henry Lyman, sekarang
tiba-tiba muncul Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, seperti yang datang dari
langit duduk disampingnya, keadaannya sama seperti Samuel Munson dan Henry
Lyman (= Sibontar mata = Sebutan orang
Batak kepada orang Eropa).
Ancaman
demi ancaman telah dilalui Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, yang paling hebat
adalah kesepakatan para raja-raja dan masyarakat untuk membuat pesta di Bukit
Siatas Barita, dengan tujuan untuk mempersembahkan Pdt. DR. Ingwer Ludwig
Nommensen kepada berhala di Bukit Siatas Barita pada Tgl. 23 September 1864.
Para raja dan masyarakat yang setia mengikuti Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen,
menceritakan hal itu kepadanya, lalu Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, membuat
lima belas surat kepada raja-raja, jika pesta itu diadakan jangan terjadi
permusuhan. Salah seorang raja berkata kepada Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen:
“Bersiaplah, sediakanlah langkahmu, sebab
engkau akan mati”.
Rencana
Tuhan lain daripada rencana manusia. Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun
mempersiapkan dirinya untuk menghadiri pesta yang akan dilaksanakan di Pasar
Sitahuru. Rumah pun telah disediakan raja-raja sebagai tempat penyembahan
berhala bagi penghuni bukit Siatas barita. Begitu juga korban sembelihan
seperti kerbau yang biasa dipersembahkan kepada berhala.
Menurut
kebiasaan, jika diadakan penyembahan berhala kepada penghuni bukit Siatas
Barita, selalu diawali dengan pemotongan kerbau yang akan dibagi-bagikan kepada
masyarakat sebagai tanda keikutsertaan mereka menyembah berhala yang dianggap
penghuni Bukit Siatas barita. Selama 4 – 7 hari, mereka menari-nari sambil
mengelilingi kerbau yang dipersembahkan kepada berhala itu, sehingga kerbau itu
menjadi busuk, lalu kerbau itu dibagi-bagikan kepada masyarakat yang menolak
Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, dan mereka pun jatuh sakit.
Disamping
menarinari, juga diadakan perkelahian anak-anak dan pemuda, yang dilanjutkan
dengan perkelahian para bapak-bapak. Tetapi, hal ini tidak terjadi, sebab
TANGAN TUHAN TELAH TERBENTANG DI SANA. Hati Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen
sangat bersyukur kepada Tuhan, sebab para raja dan masyarakat telah menyembah
Tuhan yang Mahakuasa melalui Yesus Kristus Raja Gereja.
Disaat
pesta itu diadakan, raja Panggalamei pun datang untuk menagih tebusan seorang
pemuda yang diselamatkan murid dari Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen. Dalam
kesempatan itu Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen menceriterakan kasih karunia
Allah, melalui pengampunan Yesus Kristus terhadap manusia yang penuh dosa,
tetapi hal itu tidak masuk akal raja Panggalamei, sebab ia meniadakan kebenaran
pem-bunuhan terhadap Pendeta Samuel Munson dan Henry Lyman, yang pada akhirnya
raja Panggalamei di sambar petir, yang membuat tubuhnya mati sebelah sampai pada hari kematiannya. Karena
penyertaan Tuhan dan damai sejahtera telah terjadi saat itu maka seluruh raja
dan pengetuai masyarakat meminta kepada Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen untuk
menambah Pendeta di daerah Silindung.
Sebagai
peringatan perjanjian itu, maka disebutlah tempat itu: HUTA DAME (= Kampung Perdamaian). Banyak hal yang
telah terjadi di Huta Dame ini, orang-orang yang sudah dibabtis ditolak
keluarganya dan mereka pun menjadi tinggal di Huta Dame. Begitu juga banyak
orang yang mau menyerang, menyerbu rumah Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen,
tetapi semuanya gagal. Disaat suatu penyakit yang melanda Silindung, penyakit
itu disebut “Penyakit robu”, semua orang penghuni Huta Dame selamat dari
serangan penyakit itu. Semuanya itu terjadi, bahwa tidak ada yang mustahil bagi
Allah (Lukas 1: 37).
10. Zoar
– Pansur Napitu: Melihat perkembangan Kerajaan Allah di Silindung yang di
dalamnya adalah (Hutabarat, Hutagalung, Panggabean, Hutatoruan (Banuarea) dan
Pansur Napitu), maka Pdt. Johansen yang baru saja datang dari Noordstrand
bersama isteri Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, sekaligus ikut melayani di
Silindung.
Selama
pelayanannya di Silindung, ia pun mengalami banyak tantangan, raja-raja menolak
dia di Hutabarat dan Panggabean, karena tidak ada uang seribu rupiah membayar
tanah. Dan barang-barangnya pun habis dicuri orang yang tidak bertanggungjawab.
Ia mengalami penyakit kakinya bengkak, sehingga sulit sembuh. Pdt. DR. Ingwer
Ludwig Nommensen pun menjemput Pdt. Johansen dari Zoar Pansur Napitu untuk
menjalani pemulihan.
Pdt.
Johansen memberi nama pargodungan Pansur Napitu, ZOAR, karena Pdt. Johansen
telah menyembuhkan seorang ibu yang dirasuki roh jahat. Ketika Pdt. DR. Ingwer
Ludwig Nommensen menjemput Pdt. Johansen dari Zoar Pansur Napitu, maka semua
orang yang menyembah berhala sangat bersukacita. Mereka mengadakan pesta
besar-besaran, karena mereka menganggap keKristenan telah gagal dan dapat
dikalahkan.
Di
Zoar Pansur Napitu ini, telah terjadi pengakuan dari salah seorang yang masuk
Kristen, yang mengatakan: “Berhala adalah pendusta dan penipu, hanya Tuhan
Allah yang benar dan pantas di puji dan disembah”. Mendengar pengakuan ini
alangkah senangnya hati Pdt. Johansen, sebab Firman Tuhan telah nyata dan
menang di Zoar Pansur Napitu.
11.
Pada Tgl. 24 Desember 1868, Gubernur Padang yang bernama
Ariens datang ke Huta Dame Silindung, untuk ramah tamah dengan Pdt. DR. Ingwer
Ludwig Nommensen. Menurut raja dan masyarakat saat itu, akan terjadi lagi
peperangan Bonjol (= Perang Imam Bonjol – Paderi yang berpusat di Padang).
Selama enam hari Gubernur Ariens di Huta Dame.
Dia
adalah seorang saleh yang ikut serta mendukung pelayanan Pdt. DR. Ingwer Ludwig
Nommensen. Disamping dukungannya kepada pelayanan Kerajaan Allah, mereka pun
pergi ke Sigompulon Pahae melihat tempat berhala yang ada di Namora langit
Sigompulon Pahae (= Tempat balerang, yang
saat ini sedang di usahakan Uni Loka atau
gas bumi yang ada di Pahae).
Mereka
sangat tercengang melihat belerang yang mendidih, karena tempat itu adalah air
panas, yang didalamnya terjadi lumpur panas. Dari Sigompulon, mereka menuju
Pangaloan dan Sipirok. Tugas mereka saat itu adalah, melepaskan setiap orang
yang dililiti hutang dan pelepasan anak-anak yang diculik maupun yang dirampas
secara paksa untuk mengharap tebusan.
12. Untuk
mempermudah pelayanan di Silindung, umumnya di tanah Batak, maka Pdt. DR.
Ingwer Ludwig Nommensen, menyalin Alkitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak
Toba dan latin, pada tahun 1878.
13.
Menjadi Ephorus HKBP: Pada tahun 1881, Pdt. DR. Ingwer Ludwig
Nommensen, terpilih menjadi Ephorus pertama di HKBP, yang dijuluki sebagai
Apostel orang Batak.
14.
Pada Tgl. 23 Mei 1918: Pelayanan terakhir Pdt. DR. Ingwer
Ludwig Nommensen di Sigumpar – Porsea, sungguh luar biasa. Dia mengalami banyak
cabaan. Anak dan anjingnya di racun masayarakat Sigumpar, anjingnya mati dan
anaknya jatuh sakit.
Pdt.
DR. Ingwer Ludwig Nommensen, tetap dalam pendiriannya berkata kepada raja-raja
dan masyarakat Toba: “Mati atau hidup, Saya akan mendirikan rumah Saya di
kampung kalian ini”, ujarnya.
Selama
lebih kurang dua tahun Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen melayani orang-orang
penyembah berhala di Sigumpar – Toba. Pada akhir hidupnya, ia pun mengalami
penyakit, dan akhirnya ia meninggal dunia di Sigumpar (Persis di belakang
Gereja HKBP IL Nommense Sigumpar – Toba).