Rabu, 07 Mei 2014

Napak Tilas Pelayanan Pdt. Dr. Ingwer Ludwig Nommensen di Tanah Batak



 

PARTISIPASI
Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen
Dalam Perkembangan Misi di Tanah Batak
1. Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen lahir pada tgl. 06 Februari 1934 di Noordtrand Jerman, nama isterinya adalah: Carolina Margareta Nommensen. Pada tahun 1861, Gereja Kesatuan Barmen mengutus Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen untuk melayani di tanah Batak. Persiapan yang begitu panjang, suka maupun duka telah di alami Pdt. Dr. Ingwer Lodewijk Nommensen melayani di tanah Batak. Pada hari 16 Mei 1962, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen telah sampai di Padang dan melanjutkan perjalanannya ke Sibolga, pada tgl. 16 Juni 1862.

2.       Awal pelayanan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, adalah di Barus – Sibolga. Saat itu orang Batak sangat takut melihat orang yang disebut “Sibontar Mata”, lagi pula komunikasi sangat-sangat sulit karena bahasa yang berbeda. Namun atas penyertaan Tuhan pun dapat dilaksanakan dengan baik. Di Barus, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, mengalami kejengkelan orang Batak, sebab periuk yang penuh nasi di rumah Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, habis dicuri mereka.
Disaat Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen memainkan harmonikanya dengan suara lagu-lagu rohani yang belum pernah didengar orang Batak. Saat itu raja-raja dan masyarakat Barus berpikir, bahwa binatanglah yang bernyanyi itu. Karena herannya, mereka pun meminta harmonika itu untuk mereka pegang dan untuk dibunyikan, lalu Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun memberikannya, tetapi telah lebih dahulu dibukanya alat tiupnya. Raja mencoba meniup harmonika itu, tetapi tidak bisa dibunyikan. Lalu raja berkata, bahwa binatang yang dimaksud mengenal tuannya, lalu raja itu mengembalikan harmonika itu kepada Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, karena tidak dapat dibunyikan.
Di Barus Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, banyak mempelajari Bahasa Indonesia dan Bahasa Batak, ditambah apa yang telah dipelajarinya selama di Kapal Laut dari Pdt. Dr. Van der Tuuk. Masih banyak desa yang dikunjungi Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen di Barus dan Sibolga.

3.    Pada tgl, 30 November 1862, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen kembali ke Sibolga, mereka mengalami badai yang begitu dahsyat, karena gelombang laut yang tinggi, namun atas penyertaan Tuhan, mereka pun selamat sampai di Sibolga. Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, melanjutkan perjalanannya ke Sipirok dan Sigompulon Pahae. Mereka pun bertemu dengan Pdt. Van Asselt dan Pdt. Heine yang kebetulan menghadiri rapat raja-raja di Sarulla Pahae.
Karena Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen tidak mendapat Pdt. Heine di Sigompulon, maka ia pun menjemput mereka ke Sarulla, tetapi di tengah jalan, mereka pun berjumpa di hutan belantara yang pernah di alami di Pulau Sumatera.

4.       Rapat Pendeta pertama di tanah Batak – Parau Sorat – Sipirok: Pada tgl. 07 Oktober 1861, diadakan rapat empat orang Pendeta di Sipirok antara lain: Klammer, Betz, Heine, dan Van Asselt. Selanjutnya pada Tgl. 07 Oktober 1862, mereka pun menentukan program kerja yang segera dilaknasakan di Sipirok Tapanuli Selatan.
Pdt. Van Asselt melayani di Sarulla, sementara Pdt. Klammer di Sipirok. Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun sementara menjadi tinggal di Parau Sorat – Sipirok, yang seogiannya Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen akan berangkat ke Silindung atau Tarutung.

5.       Pada Tgl. 07 November 1863, sesuai dengan pesan dari Badan Zending Barmen Jerman, melalui inspektur Van Rhoden yang berpesan kepada Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen: “Jangan engkau melupakan pemberitaan Injil ke Silindung”. Untuk mewujudkan pesan ini: Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, berangkat dari Bunga Bondar ke Silindung melalui Simangambat, tentu ia menaiki kuda beban, sebagai alat transportasi terhormat saat itu.
Disamping perjalanan mereka menuju Silindung, saat itu sedang terjadi peperangan di Pangaribuan. Mengingat kebiasaan, jika terjadi peperangan antara masyarakat, maupun disebabkan serangan musuh, semua orang akan masuk ke lubang yang telah disediakan para penduduk desa, maupun ke bukit-bukit gunung.
Disaat peperangan itu terjadi Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun teringat tentang perjuangan kekristenan yang mencari lubang sebagai persembunyian disaat ada peperangan. Dilubang itulah ia menyerahkan dirinya kepada Tuhan dan masyarakat yang ikut bersama dia bersembunyi di lobang itu. Ia percaya, bahwa Tuhan Allah selalu yang setia, pasti menjaga Israel tidak pernah terlelap (Ibr 11: 38).
Keesokan harinya, berita kedatangan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen telah tersiar di Pangaribuan, maka mereka pun memohon kepada Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen untuk mendamaikan peperangan mereka. Atas penyertaan Tuhan, masyarakat yang sedang berperang itu dapat rukun kembali. Setapak demi setapak perjalanan pun mereka lanjutkan. Dan ketika mereka sampai di antara Desa Lumban baringin – Sipoholon dan Pansur Napitu, artinya mereka telah sampai di Bukit Siatas Barita (= Tempat Salib Kasih sekarang).

6.       Janji Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen untuk tanah Batak:  Dari puncak bukit Siatas barita, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen telah dapat melihat keindahan “RURA SILINDUNG”, panorama yang indah, perkampungan masyarakat yang indah, persawahan yang melintang panjang, air Sigeaon yang mengalir dengan lembutnya. Tentu hati Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun sangat tertarik dan senang untuk tinggal di SILINDUNG. Di Bukit Siatas Barita Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen berbicara kepada Tuhan :”MANGOLU MANANG MATE PE AHU, SANDOK DI BANGSO NA HINOPHOPMON MA AU MARINGANAN,  PARARATHON HATAM DOHOT HARAJAONMU” (= Mati maupun hidup, aku akan melayani bangsa yang telah ditebus Kristus, untuk mewartakan Firman Allah dan kerajaanNya”. Mereka turun dari Bukit Siatas Barita melalui perkampungan Sipinggan sampai di Sait ni huta - Tarutung.


Para raja dan masyarakat terkejut melihat kehadirannya di Sait ni huta, mereka pun bertanya tentang apa maksud kehadirannya di sana. Dari sekian banyak pertanyaan para raja dan masyarakat yang diajukan kepada Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, ia pun memberikan jawabannya demikian: “Aku mau mendirikan rumahku di antara kamu, untuk mengajarkan tentang barangsiapa yang mau berbahagia (= Martua), dan memperoleh pengetahuan (= Parbinotoan).
Diwaktu senggang Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun memainkan harmonikanya dengan suara lagu-lagu rohani yang biasa dia buat untuk cari perhatian pendengarnya. Lagi pula Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen telah memahami kejiwaan orang Batak yang suka akan lagu-lagu. Disaat itu ada Pasar, yang disebut Onan Sitahuru, para raja-raja pun datang untuk mengulang cerita tentang kehadiran Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen di Silindung. Para raja-raja menuding Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen sebagai mata-mata kompeni Belanda yang mau merampas tanah mereka, jika hal itu terjadi maka kepala Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen akan dipenggal ditengah pasar Sitahuru. Namun Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen dengan rendah hati menjawab: “Itu semua tak mungkin dapat kamu lakukan, karena hal itu tidak dikehendaki Tuhan”.
Seminggu setelah perdebatan yang sengit itu terjadi, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun menjelaskan kehadirannya di Silindung. Ia adalah seorang Pendeta, dan ia bukan suruhan Kompeni Belanda seperti yang dituduhkan raja-raja itu.  Selanjutnya para raja-raja pun menerima dan mendukung kehadirannya di Silindung. Sekalipun ia telah sampai di Silindung, namun ia masih tetap tinggal di Bunga Bondar Sipirok sampai bulan Mei 1864. 

7.       Pada bulan Mei 1984, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen kembali lagi ke Silindung, tetapi keadaan sangat menyedihkan, sebab SOPO (= Tempat padi jika panen) yang menjadi tempat tinggal Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, tidak dapat di huni lagi karena sudah panen, pemilik Sopo pun mengusir Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen. Pada akhirnya, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun membeli sebuah rumah salah seorang keluarga yang sering diserang penyakit. Rumah ini dibeli Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, dengan tujuan raja-raja yang menolak dia serta pemilik rumah itu, agar Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun diserang penyakit yang dimaksud. Sebagai hamba Allah Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, tidak pernah lelah dan pantang menyerah. Setelah ia tinggal di Huta Dame (= Sait ni huta).  Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun mau membangun rumah itu serta menyuruh masyarakat untuk mengambil bambu, kulit kayu ke hutan, namun mereka sangat licik. Mereka tidak tepat janji, mereka mau disuruh Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen mengambil bambu dan kulit kayu, tetapi tidak mereka tepati, mereka lama-lama , bahkan seminggu dengan maksud supaya harian mereka ditambah oleh Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, sekalipun tugas mereka tidak dilaksanakan.
Melihat keadaan ini hati Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun jadi sedih, sebab bambu dan kulit kayu tidak kunjung tiba, namun gaji mereka tetap dibayar. Tentu orang yang disuruh Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen mengambil bambu dan kulit kayu itu menjadi bahan ejekan dari orang yang menerima dan mendukung kehadiran Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen di Silindung.

8.       Pada tgl. 12 Juni 1864, Pembangunan rumah pun sudah selesai yang dibuat dari bambu dan kulit kayu yang diikat dengan rotan. Suatu saat kelompok penjahat yang mau mencelakai Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen mencoba memotong rotan pengikat bangunan rumah itu. Tetapi Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen melihatnya dan memperbaikinya kembali. Tempat kediaman Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen disebut GODUNG (= Sebutan yang biasa dipakai sebagai tempat kediaman Hamba Allah).
Disaat peresmian rumah Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, para raja dan masyarakat Silindung memohon kepada Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen untuk memotong kerbau yang akan dibagi-bagikan kepada masyarakat. Namun, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, memahami kejiwaan termasuk tradisi orang Batak saat itu, jika salah membagi jambar (= Bagian masing-masing), bisa nantinya menimbulkan permusuhan maupun peperangan di antara mereka. Maka hal itu pun tidak dilaksanakan, sehingga para raja-raja dan masyarakat menyebutkan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen sebagai orang pelit (= Naholit). Dan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun meng“Ya”kan ejekan mereka, dan mereka pun tertawa terbahak-bahak.

Para raja-raja yang menganggap lebih hebat akan tetap berusaha menghalangi kehadiran Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen di Silindung, tujuan mereka adalah untuk mencari perhatian Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen supaya bersahabat (= Maraleale) dengan mereka.

9.      Pada Tgl. 30 Juni 1864. Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen menelusuri tentang kematian Samuel Munson dan Henry Lyman yang mati dibunuh di Sinaksak, (= Bahkan menurut cerita, kedua Pendeta ini dimakan di Lubu Pining jalan Sibolga).
Di saat itu Raja Panggalamei Lumbantobing, duduk di rumahnya, dan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun masuk ke rumah itu dan duduk mendekati raja Panggalamei. Melihat kedatangan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, raja Panggalamei pun bagaikan disambar petir, tidak dapat bicara apa-apa. Lalu masyarakat Lobu Pining mengajak raja Panggalamei untuk menyediakan tikar, disitulah raja Panggalamei dapat bergerak dan berkata: “Aku panggil dulu isteriku untuk menyediakan nasi bagi kamu”. Tetapi hal ini adalah bahasa bohong dari raja Panggalamei karena dia telah merasa malu dan takut.
Tigalupuluh tahun telah berlalu setelah ia membunuh Samuel Munson dan Henry Lyman, sekarang tiba-tiba muncul Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, seperti yang datang dari langit duduk disampingnya, keadaannya sama seperti Samuel Munson dan Henry Lyman (= Sibontar mata = Sebutan orang Batak kepada orang Eropa).
Ancaman demi ancaman telah dilalui Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, yang paling hebat adalah kesepakatan para raja-raja dan masyarakat untuk membuat pesta di Bukit Siatas Barita, dengan tujuan untuk mempersembahkan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen kepada berhala di Bukit Siatas Barita pada Tgl. 23 September 1864. Para raja dan masyarakat yang setia mengikuti Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, menceritakan hal itu kepadanya, lalu Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, membuat lima belas surat kepada raja-raja, jika pesta itu diadakan jangan terjadi permusuhan. Salah seorang raja berkata kepada Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen: “Bersiaplah, sediakanlah langkahmu, sebab engkau akan mati”.
Rencana Tuhan lain daripada rencana manusia. Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun mempersiapkan dirinya untuk menghadiri pesta yang akan dilaksanakan di Pasar Sitahuru. Rumah pun telah disediakan raja-raja sebagai tempat penyembahan berhala bagi penghuni bukit Siatas barita. Begitu juga korban sembelihan seperti kerbau yang biasa dipersembahkan kepada berhala.
Menurut kebiasaan, jika diadakan penyembahan berhala kepada penghuni bukit Siatas Barita, selalu diawali dengan pemotongan kerbau yang akan dibagi-bagikan kepada masyarakat sebagai tanda keikutsertaan mereka menyembah berhala yang dianggap penghuni Bukit Siatas barita. Selama 4 – 7 hari, mereka menari-nari sambil mengelilingi kerbau yang dipersembahkan kepada berhala itu, sehingga kerbau itu menjadi busuk, lalu kerbau itu dibagi-bagikan kepada masyarakat yang menolak Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, dan mereka pun jatuh sakit.
Disamping menarinari, juga diadakan perkelahian anak-anak dan pemuda, yang dilanjutkan dengan perkelahian para bapak-bapak. Tetapi, hal ini tidak terjadi, sebab TANGAN TUHAN TELAH TERBENTANG DI SANA. Hati Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen sangat bersyukur kepada Tuhan, sebab para raja dan masyarakat telah menyembah Tuhan yang Mahakuasa melalui Yesus Kristus Raja Gereja.
Disaat pesta itu diadakan, raja Panggalamei pun datang untuk menagih tebusan seorang pemuda yang diselamatkan murid dari Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen. Dalam kesempatan itu Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen menceriterakan kasih karunia Allah, melalui pengampunan Yesus Kristus terhadap manusia yang penuh dosa, tetapi hal itu tidak masuk akal raja Panggalamei, sebab ia meniadakan kebenaran pem-bunuhan terhadap Pendeta Samuel Munson dan Henry Lyman, yang pada akhirnya raja Panggalamei di sambar petir, yang membuat tubuhnya mati sebelah  sampai pada hari kematiannya. Karena penyertaan Tuhan dan damai sejahtera telah terjadi saat itu maka seluruh raja dan pengetuai masyarakat meminta kepada Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen untuk menambah Pendeta di daerah Silindung.
Sebagai peringatan perjanjian itu, maka disebutlah tempat itu: HUTA DAME (= Kampung Perdamaian). Banyak hal yang telah terjadi di Huta Dame ini, orang-orang yang sudah dibabtis ditolak keluarganya dan mereka pun menjadi tinggal di Huta Dame. Begitu juga banyak orang yang mau menyerang, menyerbu rumah Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, tetapi semuanya gagal. Disaat suatu penyakit yang melanda Silindung, penyakit itu disebut “Penyakit robu”, semua orang penghuni Huta Dame selamat dari serangan penyakit itu. Semuanya itu terjadi, bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah (Lukas 1: 37).  
10. Zoar – Pansur Napitu: Melihat perkembangan Kerajaan Allah di Silindung yang di dalamnya adalah (Hutabarat, Hutagalung, Panggabean, Hutatoruan (Banuarea) dan Pansur Napitu), maka Pdt. Johansen yang baru saja datang dari Noordstrand bersama isteri Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, sekaligus ikut melayani di Silindung.
Selama pelayanannya di Silindung, ia pun mengalami banyak tantangan, raja-raja menolak dia di Hutabarat dan Panggabean, karena tidak ada uang seribu rupiah membayar tanah. Dan barang-barangnya pun habis dicuri orang yang tidak bertanggungjawab. Ia mengalami penyakit kakinya bengkak, sehingga sulit sembuh. Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pun menjemput Pdt. Johansen dari Zoar Pansur Napitu untuk menjalani pemulihan.
Pdt. Johansen memberi nama pargodungan Pansur Napitu, ZOAR, karena Pdt. Johansen telah menyembuhkan seorang ibu yang dirasuki roh jahat. Ketika Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen menjemput Pdt. Johansen dari Zoar Pansur Napitu, maka semua orang yang menyembah berhala sangat bersukacita. Mereka mengadakan pesta besar-besaran, karena mereka menganggap keKristenan telah gagal dan dapat dikalahkan.
Di Zoar Pansur Napitu ini, telah terjadi pengakuan dari salah seorang yang masuk Kristen, yang mengatakan: “Berhala adalah pendusta dan penipu, hanya Tuhan Allah yang benar dan pantas di puji dan disembah”. Mendengar pengakuan ini alangkah senangnya hati Pdt. Johansen, sebab Firman Tuhan telah nyata dan menang di Zoar Pansur Napitu.

11.  Pada Tgl. 24 Desember 1868, Gubernur Padang yang bernama Ariens datang ke Huta Dame Silindung, untuk ramah tamah dengan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen. Menurut raja dan masyarakat saat itu, akan terjadi lagi peperangan Bonjol (= Perang Imam Bonjol – Paderi yang berpusat di Padang). Selama enam hari Gubernur Ariens di Huta Dame.
Dia adalah seorang saleh yang ikut serta mendukung pelayanan Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen. Disamping dukungannya kepada pelayanan Kerajaan Allah, mereka pun pergi ke Sigompulon Pahae melihat tempat berhala yang ada di Namora langit Sigompulon Pahae (= Tempat balerang, yang saat ini sedang di usahakan Uni Loka atau  gas bumi yang ada di Pahae).
Mereka sangat tercengang melihat belerang yang mendidih, karena tempat itu adalah air panas, yang didalamnya terjadi lumpur panas. Dari Sigompulon, mereka menuju Pangaloan dan Sipirok. Tugas mereka saat itu adalah, melepaskan setiap orang yang dililiti hutang dan pelepasan anak-anak yang diculik maupun yang dirampas secara paksa untuk mengharap tebusan.
  
12. Untuk mempermudah pelayanan di Silindung, umumnya di tanah Batak, maka Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, menyalin Alkitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak Toba dan latin, pada tahun 1878.

13.  Menjadi Ephorus HKBP: Pada tahun 1881, Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, terpilih menjadi Ephorus pertama di HKBP, yang dijuluki sebagai Apostel orang Batak.

14.  Pada Tgl. 23 Mei 1918: Pelayanan terakhir Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen di Sigumpar – Porsea, sungguh luar biasa. Dia mengalami banyak cabaan. Anak dan anjingnya di racun masayarakat Sigumpar, anjingnya mati dan anaknya jatuh sakit.
Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen, tetap dalam pendiriannya berkata kepada raja-raja dan masyarakat Toba: “Mati atau hidup, Saya akan mendirikan rumah Saya di kampung kalian ini”, ujarnya.
Selama lebih kurang dua tahun Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen melayani orang-orang penyembah berhala di Sigumpar – Toba. Pada akhir hidupnya, ia pun mengalami penyakit, dan akhirnya ia meninggal dunia di Sigumpar (Persis di belakang Gereja HKBP IL Nommense Sigumpar – Toba).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar