Makna Teologis Sunat Hati
(Ulangan 30:6; Roma 2:28-29)
I. Pendahuluan
Menurut W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI),
sunat adalah dikhitankan; dikerat kulupnya.[1]
Tradisi Israel tidak mempunyai pendapat yang sama dalam memberi arti yang asli
pada sunat itu (Kej 17:23-27; Kel 4:25; Yos 5:2-10). Sejak zaman mula-mula Israel
memandang sunat sebagai tanda perjanjian (Kis 7:8), tanda menjadi milik Yahweh
atau menjadi persekutuan agama Israel (Kel 12:48; Rom 4:11), di mana sunat juga
dipandang sebagai tanda yang khas dengan bangsa lain (Hak 14:3; I Sam 14:6).[2]
Sunat merupakan suatu topik yang
dibicarakan dalam dunia PL dan PB. Dikatakan sebagai suatu topik yang
dibicarakan karena hampir setiap sesuatu yang berhubungan dengan sunat tersebut
mendapat tempat yang penting dalam dunia PL dan PB. Sunat sudah pasti memiliki
latar belakang, metode dan tujuan tertentu, misalnya dalam PL: sunat merupakan
tanda perjanjian dengan Allah Yahweh. Sunat yang dimaksudkan dalam hal ini
adalah sunat hati. Sebagian orang
atau beberapa agama pada masa kini masih banyak yang menganggap bahwa sunat
harus sama seperti khitanan. Dengan kata lain tidak mengenal apa itu sunat
hati, pengertian yang demikian juga mungkin masih dimiliki pemeluk agama
Kristen.
Dalam pemaparan di atas, masih ada
beberapa kelompok atau beberapa agama yang masih melakukan sunat yang dimaksudkan dalam arti khitanan dan melupakan tentang sunat hati. Karena alasan inilah
maka penyaji melalui sajian ini mencoba menjelaskan mengenai “Makna Teologis Sunat Hati”. Untuk
mempermudah memahami sajian ini penyaji membuat sistematika penulisan sebagai
berikut:
I.
Pendahuluan
II.
Pengertian Sunat
Sunat dalam PL
Sunat dalam PB
III.
Analisis Tekstual PL
3.1. Latar Belakang Kitab Ulangan
3.2. Kajian Teks Ulangan 30:6
IV. Analisis Tekstual PB
4.1. Latar
Belakang Kitab Roma
4.2. Kajian
Teks Roma 2:28-29
V. Refleksi Teologis
VI. Kesimpulan
Kepustakaan
II. Pengertian Sunat
2.1. Sunat dalam PL
Sunat berasal dari bahasa Ibrani, yaitu: מּ,
yang memiliki arti: “menyunat”.[3]
Sunat merupakan tanda perjanjian yang diadakan Allah dengan Abraham, maka
kepada Abraham diberikan Allah tanda sunat. Setiap laki-laki di dalam rumahnya
dan diantara keturunannya haruslah disunat. Penyunatan ini harus dilakukan
waktu anak itu masih berumur 8 hari. Jika seseorang dari keturunannya Abraham
tidak memenuhi perintah Allah ini, maka ia akan memutuskan perjanjian dengan
Allah; ia akan dihukum, akan dibasmi, ia akan mati oleh karena pelanggaran
terhadap perjanjian itu.
Sunat itu adalah suatu sakramen, suatu
tanda dan cap. Tanda adalah sesuatu yang dapat dilihat untuk menggambarkan
hal-hal yang tidak dapat dilihat; dan cap adalah suatu pertanda yang menjamin
ketulenan sesuatu.[4]
Pada penyunatan itulah anak diberi nama. Bangsa lain yang mau masuk anggota
Israel dapat diterima jika dia telah disunat.[5]
Ayat yang terdapat dalam Ulangan secara
jelas mengatakan bahwa sunat yang benar adalah sebuah pekerjaan Allah dalam
hati manusia – kehidupan spiritual yang kepada Allah dalam umat-Nya. Penggunaan
kata kerja dalam Dt. 30:6, merupakan pendapat yang lebih tinggi bahwa sunat
adalah disimbolkan sebagai hal yang lebih dalam terhadap kehidupan bangsa
Israel.[6]
Yang penting dari sunat sebagai sebuah
tanda dari Perjanjian dengan Allah, oleh karena itu semuanya ditekankan dengan
kuat.[7]
Demikian juga halnya dengan sunat hati. Sunat hati merupakan janji Allah supaya
umat-Nya hidup (Ul. 30:6).
2.2. Sunat dalam PB
Kata yang dipakai untuk sunat dalam bahasa
Yunani adalah: περιτομή, yang memiliki arti: sunat (sebagai suatu upacara
keagamaan), juga merupakan bentuk kiasan.[8]
PB dengan tegas dan pasti bahwa: tanpa ketaatan, sunat adalah omong kosong (Rm.
2:25-29). Tanda lahiriah pudar tanpa arti jika dibandingkan dengan menaati
perintah-perintah, iman bekerja oleh kasih (Gal. 5:6). Namun orang Kristen
tidak bisa bebas memandang rendah tanda itu. Walaupun sejauh tanda itu
mengungkapkan keselamatan karena pernuatan-perbuatan hukum, orang Kristen harus
menghindarinya (Gal 2:2 ff). Namun dalam arti batiniah orang Kristen
memerlukannya (Kol. 2:13; bnd. Yes. 52:1). Justru ada “Sunat Kristus”, berupa
penanggalan tubuh (bukan hanya sebagian) yang berdosa, suatu perbuatan rohani,
yang tidak dilakukan oleh tangan manusia.[9]
Sunat
mungkin disaksikan oleh
orang-orang Yahudi yang moderat sebagai suatu usaha yang dibuat dalam periode
PL untuk membuat hal itu “keluar” dan menjadi tanda yang tampak dari dalam dan
merupakan anugerah spritual. Dengan demikian apa yang dibaca dalam Ul. 10:16 : sunat hati dan tidak lagi melakukan
kekerasanmu. Arti dari hal itu membuat jelas Ul. 30:6 “Yahweh, TUHANmu akan
menyunat hatimu, dan hatimu melihat untuk mengasihi Yahweh TUHAN Allahmu dengan
seluruh hatimu dan seluruh jiwamu dengan kehidupanmu. Padahal inilah etika
diberikan kepada sunat, dengan
mengartikan hal itu sebagai suatu indeks dari bagian atau sikap dari hati.
Demikian pula penggunaan dari hal tersebut ditemukan dalam Yer 4:4, Im. 26:41.
Jalan lintas ini memberikan konsep Paulus bahwa sunat yang nyata adalah
pengalaman inti (Rm. 2:28-29; Kol. 2:11).[10]
III. Analisis Tekstual PL
3.1. Latar Belakang Kitab
Ulangan
Selama tiga puluh tahun sesudah orang
Israel menolak memasuki tanah Kanaan, mereka berdiam di Padang Paran dan
Kadesy-Barnea, sampai generasi yang keluar dari Mesir mati semuanya. Kemudian
mereka melanjutkan perjalanan mereka melalui jalan memutar lewat Edom, sampai
mereka berkemah di Moab, menantikan perintah akhir untuk memasuki dan menduduki
tanah yang dijanjikan Allah kepada nenek moyang mereka. Saat itu adalah saat
yang khidmat.
Menurut kitab Ulangan, Musa mengambil
kesempatan itu untuk memberi tiga amanat kepada orang Israel, yang merupakan
amanat perpisahannya karena ia telah diberitahu, bahwa ia tidak dapat memasuki
tanah perjanjian itu bersama mereka. Isi amanat itu terdapat dalam kitab
Ulangan. Yang pertama diberikan “di seberang sungai Yordan, di lembah di
tentangan Bet-Peor, di negeri Sihon, raja orang Amori” (ay. 46). Yang ketiga
diberikan “di tanah Moab” (29:1). Sangat mungkin ketiga amanat itu disampaikan
di lokasi yang sama.[11]
Menurut teori Graf-Wellhausen tentang
komposisi Pentateukh, ada empat sumber yang disebut J, D, E, dan P. Sumber D
adalah bagian utama dari Kitab Ulangan ini.[12]
Sisa-sisa Israel yang berada dalam posisi
kritis dalam sejarah mereka, dan sekalipun moral umum mereka tinggi, namun
setelah itu neraka berada di bawah pimpinan baru, di mana harus menghadapi
godaan-godaan berat dan ujia-ujian yang pelik. Pimpinan yang baru, yang hingga
kini masih harus membuktikan diri sebagai ahli perang dan ahli pemerintahan
yang baik.
Pada saat inilah Musa, yang diberitahu
kematiannya, memanggil orang-orang berkumpul. Dalam pidato-pidatonya Musa
mengingatkan mereka akan perbuatan-perbuatan Allah yang Maha Kuasa, yang telah
diperbuat demi kepentingan mereka. Dengan mengingat penaklukan Kanaan yang akan
datang, Musa memberikan garis besar anggaran dasar yang ditetapkan bagi ilahi
bagi teokrasi baru (Teokrasi adalah pemerintahan Allah atau oleh wakil Allah)[13],
yang akan didirikan di negeri Perjanjian itu.[14]
Kitab Ulangan berisikan pidato-pidato Musa
pada bulan-bulan terakhir dari hidup-hidupnya, yang ditujukan kepada orang
Israel, ketika mereka dikumpulkan di Moab. Kitab ini melanjutkan tradisi yang
tersimpan dalam Kitab Keluaran, yakni bahwa Musa terbiasa mencatat
kejadian-kejadian, peraturan-peraturan dan bahan-bahan lain. Kitab ini menuntut
bahwa pada pokoknya adalah karya Musa, pemberi hukum Ibrani yang besar itu
sendiri.[15]
3.2. Kajian Teks Ulangan 30:6
“Tuhan
akan menyunat hatimu”. Apa yang sebenarnya merupakan penyunatan lahiriah,
yaitu: sakramen penyerahan diri pada zaman Perjanjian Lama, akan diwujudkan
secara rohani oleh kasih Allah (bnd. 10:16; Yer. 31:33, dst; 32:39,dst; Yeh.
11:19; 36:26, 27).
Sebagaimana tampak dalam perkembangan tema
ini pada zaman para nabi, pembaharuan dan pemulihan yang dinubuatkan oleh Musa
adalah yang dilaksanakan oleh Kristus pada zaman Perjanjian Baru. Nubuat
tersebut tidak hanya secara sempit menyangkut hanya orang Yahudi berdasarkan
etnik, tetapi dengan seluruh masyarakat perjanjian yang di PL secara konkrit
berarti Israel. Meskipun demikian, dalam suasana PB tembok-tembok perbedaan
etnik diruntuhkan. Oleh karena itu, gambaran PL yang dipakai di sini tentang
orang-orang Israel yang dibuang dan dikumpulkan kembali bagi Tuhan di Yerusalem
(30;3b-4; bnd. 28:64) digenapi sepenuhnya dalam kumpulan orang-orang berdosa PB
secara universal, yaitu: mereka yang terbuang dari Firdaus, yang kembali kepada
Tuhan Yesus yang bertahta di Yerusalem Surgawi.[16]
Untuk menghindarkan keputusasaan Israel
oleh karena kegagalan mereka, Allah akan memberikan sumber ketaatan, sesuatu
yang dulunya tidak dimiliki. Israel tidak akan lagi bersandar pada kekuatannya
sendiri, melainkan akan menerima sebuah hati yang sudah disunat oleh Allah dan
mampu untuk mengadakan perjanjian yang baru (ay.6).[17]
IV. Analisis Tekstual PB
4.1. Latar Belakang Kitab
Roma
Surat kepada Orang Kristen di Roma
merupakan hasil matang dari pengalaman dan pemikiran Paulus selama lebih kurang
20 tahun. Ia sendiri memberitahukan kepada sidang pembaca bahwa sudah lama
berkarya dan pergi ke mana-mana dan di kawasan timur (Rm. 15:19). Kini ia mau
membuka tahap bari dalam kerasulannya (Rm. 15:23-32). Pada kesempatan itu
Paulus seolah-olah beristirahat sebentar guna mengolah serta mengatur
pengalaman dan pikirannya, lalu menuangkannya dalam sebuah karang yang tersusun
dengan cukup baik.[18]
Surat ini ditulis oleh Paulus pada saat
perjalanan ketiganya unuk memberitakan Injil. Tanggal penulisan surat ini
berkisar 53-58 M. Tahun 55 atau 56 M
rupanya merupakan penulisan yang paling mungkin untuk surat ini.
Paulus mengawali suratnya ini dengan
ulasan pendahuluan untuk mempersiapkan pembaca menerima segala hal yang hendak
ia tulis (1:1-17), jadi dia menjalin suatu hubungan yang bagus antara dirinya
dengan pembacanya. Paulus kemudian mengemukakan pokok surat yakni: pentingnya
kebenaran di dalam hubungan manusia dengan Allah (1:18-8:39).
Selaku orang Yahudi, Paulus memandang
manusia sebagai terdiri atas dua golongan, yaitu: Yahudi dan bukan Yahudi.
Selaku orang Kristen Paulus menjawabnya dengan memberikan suatu ulasan tentang
rencana Allah bagi orang Yahudi (9:1-11:36). Di bagian ini Paulus meletakkan
sebuah landasan yang nyata bagi filsafat sejarah Kristen.
Sebagai penutup, dia menunjukkan betapa ia
sangat menaruh perhatian terhadap orang-orang percaya di Roma (15:14 – 16:27).
Mereka berada di wilayahnya dan dia bermaksud mengunjungi mereka sampai hal itu
bisa terlaksana, dia harus mengirim salam kepada mereka lewat surat, memberikan
suatu peringatan terakhir dan menyerahkan mereka kepada Allah yang adalah
satu-satunya pihak yang dapat membangun mereka.[19]
Dari ps. 1:18 – 3:20, Paulus
memperlihatkan betapa besarnya kebutuhan manusia akan Injil. Mula-mula ia
memperlihatkan keadaan bangsa-bangsa non-yahudi (1:18-32); kemudian menunjukkan
bahwa keunggulan Israel melulu omong kosong, karena orang Yahudi sudah diserang
bencana dosa juga (2:1-3:20). Meskipun mula-mula nama bangsa itu tidak disebut,
namun ayat-ayat berikutnya bahwa yang dimaksud adalah bangsa Yahudi. Cara ini
tidak menimbulkan prasangka dalam hati orang Yahudi yang membacanya. Uraian
mula-mula sedemikian umum dan sederhana, sehingga orang Yahudi terpaksa
membenarkan sebelum sadar bahwa dirinyalah yang dikenal uraian itu.[20]
4.2. Kajian Teks Rm. 2:28-29
Dalam pasal 1-3, Paulus mengupas soal
sengsara, yaitu keadaan umat manusia yang berdosa. Bukan hanya orang-orang yang
bukan Yahudi saja (pasal 1), tetapi juga orang-orang Yahudi (ps. 2), bahkan
semua manusia akan binasa selama-lamanya, seandainya Tuhan Yesus tidak datang menyelamatkan
manusia (ps. 3).[21]
Dalam penerjemahan Rm. 2:28-29, terdapat
perbedaan LAI dan Bahasa Yunaninya. Dalam LAI “yang disebut” merupakan
terjemahan έστιν, “adalah”. Kata “secara lahiriah” (ay. 28a) yang pertama
adalah terjemahan τώ φανερώ = “dalam kenyataan”, “yang tampak”. Yang kedua
merupakan terjemahan έν σαρκί (ay. 28c) = “dalam daging”. “(Tetapi) orang
Yahudi sejati ialah (dia yang)”, merupakan ulangan yang tidak ada dalam naskah
Yunani.[22]
Dalam ayat 28-29a, Paulus menggabungkan
unsur-unsur janji-janji Tuhan dalam PL yang berisi tentang sunat hati, maksudnya hendak menggambarkan mereka yang
sungguh-sungguh melakukan Hukum Taurat, “orang-orang Yahudi sejati”. Ternyata
mereka adalah orang-orang yang menyimpan Hukum Taurat dalam batin, yang telah
menerima sunat hati, yang dijiwai bukan oleh hukum tertulis, melainkan oleh
Roh. Sunat pada badan tidak menjamin orang termasuk golongan ini. Sama seperti
Hukum Taurat, sunat barulah bermakna bila sifat-sifat tersebut terdapat dalam
hati orang yang bersangkutan.
Hanya, Paulus maju lebih jauh dibandingkan
para penulis PL yang telah menyatakan hal yang sama. Sebab (ay.27) ia
mengenakan sifat-sifat tadi (yang sekaligus merupakan janji-janji) kepada
orang-orang non-Yahudi. Dengan demikian ia membuka cakrawala yang dalam PL
barulah kelihatan samar-samar, dan yang malah sama sekali tidak terdapat dalam
agama Yahudi pada masa antar-perjanjian, yang bagaimanapun tetap menuntut
supaya orang non-Yahudi yang mendapat bagian dalam janji-janji itu menjadi
orang Yahudi dulu. Tetapi ia berbuat demikian karena sudah mengenal Kristus.[23]
Dalam ay. 29b, kalimat ini dapat
ditafsirkan secara umum: yang penting ialah supaya Allah berkenan akan kita,
bukan manusia. Wawasan seperti itu terdapat juga dalam karangan filsafat Yunani
(Stoa). Tetapi perbandingan dengan 1 Kor. 4:6, memperlihatkan kepada kita bahwa
yang dimaksud Paulus ialah pujian dari Allah dalam pengadilan terakhir, bnd. Mat.
25:21, 23. Dibandingkan dengan pujian itu, pujian dari pihak manusia tidak
penting, bahkan dapat saja menyesatkan:
Dalam
hubungan ini perlu dicatat bahwa Paulus memang beberapa kali menyatakan orang
Kristen perlu mencari pujian dari pihak manusia. Namun, dalam hal itu manusia
tersebut bukanlah sembarang manusia, melainkan jemaat Kristen, yang merupakan
tubuh Kristus (2 Kor. 8:18), dan pemerintah duniawi yang ditetapkan oleh Allah
sebagai hambaNya (Rm. 13:3-4).
Maka, jelaslah yang digambarkan dalam ay.
28-29 ini bukan lagi (seperti halnya ay. 14ff) sembarang orang kafir yang telah
menjadi ahli waris janji-janji para nabi itu. Dengan perkataan lain: orang
Kristen dari lingkungan kekafiran.
Hanya saja, Paulus belum terang-terangan
mengatakan hal itu. Dalam pasal 2 ini tujuannya adalah membuktikan kepada orang
Yahudi (Kristen) bahwa ada kebenaran di hadapan Allah yang tidak terikat pada
hukum Taurat dan sunat (1:16-17; 3:21). Ternyata ada. Hal itu tampak
samar-samar dalam dunia kafir (14) dan dikatakan terang-terangan oleh Alkitab
dalam PL. Dalam 3:21, Paulus akan mengatakan mereka yang telah memperoleh
kebenaran tersebut. Tetapi dalam pasal 2 ini, termasuk dalam ay. 28-29, mereka
belum berwujud. Masih berlakulah hukuman ilahi atas seluruh umat manusia, baik
orang kafir maupun orang Yahudi.[24]
V. Refleksi Teologis
Beberapa atau banyak kelompok menganggap
bahwa sunat hanya dalam bentuk khitanan. Namun dalam Ul. 30:6 dan Rm. 2:29,
terdapat sunat hati.
Sunat hati sangatlah dibutuhkan pada zaman
sekarang ini. Di mana dunia menghadirkan hal-hal yang mambuat manusia semakin
mudah tergoda untuk meninggalkan jalan Tuhan. Apabila seseorang melakukan sunat
lahiriah, maka akan ada bagian yang dibuang, demikian juga dengan sunat hati. Segala sesuatunya yang
berbentuk negatif akan dibuang dari dalam hatinya, sehingga kembali kepada
jalan yang diinginkan oleh Tuhan. Seseorang yang mampu melakukan sunat hati
akan beroleh hidup yang daripada Allah (Ul.30:6).
Ada kebanggaan ataupun upah kepada orang
yang dapat melakukan sunat hati. Yang
melakukannya akan mendapat pujian yang berasal bukan dari manusia, melainkan
mendapat pujian dari yang menciptakan seluruh bumi dan isinya, yaitu Allah (Rm.
2:8-9), sedang dalam Ul. 30:6, seseorang yang mampu melakukan hal itu akan
beroleh hidup yang juga berasal dari Allah. Ini berarti segala sesuatunya yang
ada pada manusia hanyalah bersifat sementara dan dapat hilang tetapi tidak
begitu dengan Tuhan. Segala sesuatunya yang berasal dari Dia adalah kekal dan
tidak berkesudahan, bahkan sampai kepada keturunan-keturunan umat-Nya yang
mampu melakukannya (Ul. 30:6). Memang banyak halangan dalam melakukannya, namun
upahnya akan sangat berdampak dalam kehidupan rohani kita.
VI. Kesimpulan
Bagi sebahagian kelompok bahkan agama,
sunat adalah secara lahir yang ditunjukkan lewat khitanan. Namun tidak demikian
halnya dengan sunat hati. Sunat dalam PL adalah sakramen penyerahan diri kepada
Allah. Jatuhnya bangsa Israel ke dalam dosa membuat Allah menginginkan
pertobatan akan bangsa pilihanNya itu, sehingga bangsaNya beroleh kehidupan
yang dari Allah (Ul. 30:6). Oleh karena itu, Allah melalui Musa menyerukan
tentang adanya sunat hati, supaya segala tindakan manusia yang buruk ataupun
yang negatif dari bangsa itu dibuang. Inilah yang mungkin bahkan pasti tentang
apa yang dimaksud dengan sunat hati.
Demikian juga halnya dengan PB, Paulus
mengetahui bahwa adanya kebanggaan bagi orang yang telah melakukan sunat dan
orang Yahudi. Namun Paulus menegaskan bahwa sunat di dalam hatilah yang dapat
ditunjukkan secara rohani yang sangat diinginkan Allah dilakukan oleh manusia.
Seseorang yang mampu melakukannya akan mendapat pujian yang berasal dari Tuhan.
Pujian yang dari Tuhan itu bersifat kekal dan tidak sementara seperti pujian
yang berasal dari manusia.
Baik sunat hati dalam PL maupun PB,
sama-sama mendapatkan upah yang langsung berasal dari Allah Sang Pencipta bagi
yang mampu melakukannya dan itu dapat ditunjukkan lewat rohaninya.
Apabila seseorang melakukan sunat akan ada
bagian yang dibuang, sama halnya dengan sunat hati. Bagian dari sifat hati yang
buruklah yang dibuang, sehingga yang tinggal dalam hati hanyalah sifat-sifat
hati yang positif yang berkenan di
hadapan Allah.
Mengasihi Allah dengan segenap hati dan
menjalani hidup sesuai dengan yang berkenan kepadaNya sudah dapat dikatakan
telah melakukan sunat hati. Dengan demikian sunat hati adalah sunat secara
rohani yang tertuju kepadaNya. Kiranya setiap manusia dapat melakukan dan
menjalankan sunat hati tersebut sehingga mendapat berkat yang melimpah dari
Tuhan Allah.
[1] W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia (KUBI), (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm. 976
[2] Herbert
Haag, Kamus Alkitab, (Flores: Nusa
Indah, 1984), hlm. 424
[3] Benjamin
Davidson, The Analitycal Hebrew and
Chaldee Lexicon, (Michigan: Zondervan Publishing House Academic and
Professioanal Books, 1993), hlm. 492
[4] F. L.
Baker, Sejarah Kerajaan Allah 1
(Perjanjian Lama), (Jakarta:
BPK-GM, 2004), hlm. 128
[5] Ibid., hlm. 372
[6] R. Laird
Harris (ed.), Theological Word Book of
The Old Testament Vol. I dalam מל, (Chicago:
Mody Press, 1981), hlm. 495
[7] Roland de Vaux, Ancient Israel: Its Life in the Instutions, (London: Mc Graw-Hill
Book Company, INC, 1986), hlm. 47-48
[8] Gerhard
Friedrich (ed.), Theological Dictionary
of New Testament (Vol. VI: πε-Ρ), (Michigan:
WM. B Eerdmans Publishing Company, 1968), hlm. 82-83
[9] J.A.
Motyer. Dkk “Sunat”, dalam J.D. Douglas (ed.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (Jilid II: M-Z), (Jakarta: Yayasan
Bina Kasih/IMF, 1995), hlm. 427
[10] James
Hasting (ed.), Encyclopedi of Religion
and Ethics; Vol. III (Burial – Confessions) dalam “Circumcission”, (New
York: Charles Scribner`s Son`s, 1965), hlm. 680
[11] W.S.
Lassor, dkk, Pengantar Perjanjian Lama I
(Taurat dan Sejarah), (Jakarta:
BPK-GM, 2001), hlm. 247
[12] Ibid., hlm. 250
[13] Gerald
O Collins & Edward G. Farrugia, Kamus
Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 314
[14] G. T.
Manley & R. K. Harrison, “Kitab Ulangan”, dalam -----, Tafsiran Alkitab Masa Kini (Jilid I: Kejadian-Ester), (Jakarta: YKBK/OMF, 2005),
hlm. 292.
[15] Ibid., hlm. 291
[16] Charles
F. Pfeiffer & Everett F. Harrison (ed.), Tafsiran Alkitab Wycliffe, Vol. I (Perjanjian Lama: Kejadian-Ester), (Malang:Gandum Mas, 2004),
hlm.539-540
[17] Dianne
Bergant & Robert J. Karris, Tafsiran
Alkitab Perjanjian Lama, (Yogyakarta: Kanisius,
2005), hlm. 274
[18] C.
Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian
Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 2005),
hlm.220
[19] Charles
F. Pfeiffer & Everet F. Harrison (ed.), Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol. III (Perjanjian Baru), (Malang: Gandum Mas,
2004), hlm. 509-510
[20] J.
Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab 4
(Roma-Wahyu), (Jakarta:
YKBK/OMF, 2002), hlm. 22
[21] J. H.
Bavinck, Sejarah Kerajaan Allah 2
(Perjanjian baru), (Jakarta:
BPK-GM, 2004), hlm. 836
[22] Van den
End, Tafsiran Alkitab: Surat Roma, (Jakarta: BPK-GM, 2006),
hlm. 143
[23] Ibid., hlm. 146
[24] Ibid., hlm. 147-148
Tidak ada komentar:
Posting Komentar