Minggu, 04 Mei 2014

Mengapa orang Kristen tidak disunat? (Makna Sunat di dalam Kekristenan)



 

Makna Teologis Sunat Hati
(Ulangan 30:6; Roma 2:28-29)

I. Pendahuluan
Menurut W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), sunat adalah dikhitankan; dikerat kulupnya.[1] Tradisi Israel tidak mempunyai pendapat yang sama dalam memberi arti yang asli pada sunat itu (Kej 17:23-27; Kel 4:25; Yos 5:2-10). Sejak zaman mula-mula Israel memandang sunat sebagai tanda perjanjian (Kis 7:8), tanda menjadi milik Yahweh atau menjadi persekutuan agama Israel (Kel 12:48; Rom 4:11), di mana sunat juga dipandang sebagai tanda yang khas dengan bangsa lain (Hak 14:3; I Sam 14:6).[2]
Sunat merupakan suatu topik yang dibicarakan dalam dunia PL dan PB. Dikatakan sebagai suatu topik yang dibicarakan karena hampir setiap sesuatu yang berhubungan dengan sunat tersebut mendapat tempat yang penting dalam dunia PL dan PB. Sunat sudah pasti memiliki latar belakang, metode dan tujuan tertentu, misalnya dalam PL: sunat merupakan tanda perjanjian dengan Allah Yahweh. Sunat yang dimaksudkan dalam hal ini adalah sunat hati. Sebagian orang atau beberapa agama pada masa kini masih banyak yang menganggap bahwa sunat harus sama seperti khitanan. Dengan kata lain tidak mengenal apa itu sunat hati, pengertian yang demikian juga mungkin masih dimiliki pemeluk agama Kristen.
Dalam pemaparan di atas, masih ada beberapa kelompok atau beberapa agama yang masih melakukan sunat yang dimaksudkan dalam arti khitanan dan melupakan tentang sunat hati. Karena alasan inilah maka penyaji melalui sajian ini mencoba menjelaskan  mengenai “Makna Teologis Sunat Hati”. Untuk mempermudah memahami sajian ini penyaji membuat sistematika penulisan sebagai berikut:
I.                   Pendahuluan
II.                Pengertian Sunat
            Sunat dalam PL
            Sunat dalam PB
III.             Analisis Tekstual PL
3.1. Latar Belakang Kitab Ulangan
3.2. Kajian Teks Ulangan 30:6
            IV.       Analisis Tekstual PB
                        4.1. Latar Belakang Kitab Roma
                        4.2. Kajian Teks Roma 2:28-29
            V.        Refleksi Teologis
            VI.       Kesimpulan
            Kepustakaan

II.        Pengertian Sunat
            2.1. Sunat dalam PL
Sunat berasal dari bahasa Ibrani, yaitu: מּ, yang memiliki arti: “menyunat”.[3] Sunat merupakan tanda perjanjian yang diadakan Allah dengan Abraham, maka kepada Abraham diberikan Allah tanda sunat. Setiap laki-laki di dalam rumahnya dan diantara keturunannya haruslah disunat. Penyunatan ini harus dilakukan waktu anak itu masih berumur 8 hari. Jika seseorang dari keturunannya Abraham tidak memenuhi perintah Allah ini, maka ia akan memutuskan perjanjian dengan Allah; ia akan dihukum, akan dibasmi, ia akan mati oleh karena pelanggaran terhadap perjanjian itu.
Sunat itu adalah suatu sakramen, suatu tanda dan cap. Tanda adalah sesuatu yang dapat dilihat untuk menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat; dan cap adalah suatu pertanda yang menjamin ketulenan sesuatu.[4] Pada penyunatan itulah anak diberi nama. Bangsa lain yang mau masuk anggota Israel dapat diterima jika dia telah disunat.[5]
Ayat yang terdapat dalam Ulangan secara jelas mengatakan bahwa sunat yang benar adalah sebuah pekerjaan Allah dalam hati manusia – kehidupan spiritual yang kepada Allah dalam umat-Nya. Penggunaan kata kerja dalam Dt. 30:6, merupakan pendapat yang lebih tinggi bahwa sunat adalah disimbolkan sebagai hal yang lebih dalam terhadap kehidupan bangsa Israel.[6]
Yang penting dari sunat sebagai sebuah tanda dari Perjanjian dengan Allah, oleh karena itu semuanya ditekankan dengan kuat.[7] Demikian juga halnya dengan sunat hati. Sunat hati merupakan janji Allah supaya umat-Nya hidup (Ul. 30:6).

2.2. Sunat dalam PB
Kata yang dipakai untuk sunat dalam bahasa Yunani adalah: περιτομή, yang memiliki arti: sunat (sebagai suatu upacara keagamaan), juga merupakan bentuk kiasan.[8] PB dengan tegas dan pasti bahwa: tanpa ketaatan, sunat adalah omong kosong (Rm. 2:25-29). Tanda lahiriah pudar tanpa arti jika dibandingkan dengan menaati perintah-perintah, iman bekerja oleh kasih (Gal. 5:6). Namun orang Kristen tidak bisa bebas memandang rendah tanda itu. Walaupun sejauh tanda itu mengungkapkan keselamatan karena pernuatan-perbuatan hukum, orang Kristen harus menghindarinya (Gal 2:2 ff). Namun dalam arti batiniah orang Kristen memerlukannya (Kol. 2:13; bnd. Yes. 52:1). Justru ada “Sunat Kristus”, berupa penanggalan tubuh (bukan hanya sebagian) yang berdosa, suatu perbuatan rohani, yang tidak dilakukan oleh tangan manusia.[9]
Sunat mungkin disaksikan oleh orang-orang Yahudi yang moderat sebagai suatu usaha yang dibuat dalam periode PL untuk membuat hal itu “keluar” dan menjadi tanda yang tampak dari dalam dan merupakan anugerah spritual. Dengan demikian apa yang dibaca dalam Ul. 10:16 : sunat hati dan tidak lagi melakukan kekerasanmu. Arti dari hal itu membuat jelas Ul. 30:6 “Yahweh, TUHANmu akan menyunat hatimu, dan hatimu melihat untuk mengasihi Yahweh TUHAN Allahmu dengan seluruh hatimu dan seluruh jiwamu dengan kehidupanmu. Padahal inilah etika diberikan kepada sunat, dengan mengartikan hal itu sebagai suatu indeks dari bagian atau sikap dari hati. Demikian pula penggunaan dari hal tersebut ditemukan dalam Yer 4:4, Im. 26:41. Jalan lintas ini memberikan konsep Paulus bahwa sunat yang nyata adalah pengalaman inti (Rm. 2:28-29; Kol. 2:11).[10]

III.       Analisis Tekstual PL
            3.1. Latar Belakang Kitab Ulangan
Selama tiga puluh tahun sesudah orang Israel menolak memasuki tanah Kanaan, mereka berdiam di Padang Paran dan Kadesy-Barnea, sampai generasi yang keluar dari Mesir mati semuanya. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan mereka melalui jalan memutar lewat Edom, sampai mereka berkemah di Moab, menantikan perintah akhir untuk memasuki dan menduduki tanah yang dijanjikan Allah kepada nenek moyang mereka. Saat itu adalah saat yang khidmat.
Menurut kitab Ulangan, Musa mengambil kesempatan itu untuk memberi tiga amanat kepada orang Israel, yang merupakan amanat perpisahannya karena ia telah diberitahu, bahwa ia tidak dapat memasuki tanah perjanjian itu bersama mereka. Isi amanat itu terdapat dalam kitab Ulangan. Yang pertama diberikan “di seberang sungai Yordan, di lembah di tentangan Bet-Peor, di negeri Sihon, raja orang Amori” (ay. 46). Yang ketiga diberikan “di tanah Moab” (29:1). Sangat mungkin ketiga amanat itu disampaikan di lokasi yang sama.[11]
Menurut teori Graf-Wellhausen tentang komposisi Pentateukh, ada empat sumber yang disebut J, D, E, dan P. Sumber D adalah bagian utama dari Kitab Ulangan ini.[12]
Sisa-sisa Israel yang berada dalam posisi kritis dalam sejarah mereka, dan sekalipun moral umum mereka tinggi, namun setelah itu neraka berada di bawah pimpinan baru, di mana harus menghadapi godaan-godaan berat dan ujia-ujian yang pelik. Pimpinan yang baru, yang hingga kini masih harus membuktikan diri sebagai ahli perang dan ahli pemerintahan yang baik.
Pada saat inilah Musa, yang diberitahu kematiannya, memanggil orang-orang berkumpul. Dalam pidato-pidatonya Musa mengingatkan mereka akan perbuatan-perbuatan Allah yang Maha Kuasa, yang telah diperbuat demi kepentingan mereka. Dengan mengingat penaklukan Kanaan yang akan datang, Musa memberikan garis besar anggaran dasar yang ditetapkan bagi ilahi bagi teokrasi baru (Teokrasi adalah pemerintahan Allah atau oleh wakil Allah)[13], yang akan didirikan di negeri Perjanjian itu.[14]
Kitab Ulangan berisikan pidato-pidato Musa pada bulan-bulan terakhir dari hidup-hidupnya, yang ditujukan kepada orang Israel, ketika mereka dikumpulkan di Moab. Kitab ini melanjutkan tradisi yang tersimpan dalam Kitab Keluaran, yakni bahwa Musa terbiasa mencatat kejadian-kejadian, peraturan-peraturan dan bahan-bahan lain. Kitab ini menuntut bahwa pada pokoknya adalah karya Musa, pemberi hukum Ibrani yang besar itu sendiri.[15]

3.2. Kajian Teks Ulangan 30:6
Tuhan akan menyunat hatimu”. Apa yang sebenarnya merupakan penyunatan lahiriah, yaitu: sakramen penyerahan diri pada zaman Perjanjian Lama, akan diwujudkan secara rohani oleh kasih Allah (bnd. 10:16; Yer. 31:33, dst; 32:39,dst; Yeh. 11:19; 36:26, 27).
Sebagaimana tampak dalam perkembangan tema ini pada zaman para nabi, pembaharuan dan pemulihan yang dinubuatkan oleh Musa adalah yang dilaksanakan oleh Kristus pada zaman Perjanjian Baru. Nubuat tersebut tidak hanya secara sempit menyangkut hanya orang Yahudi berdasarkan etnik, tetapi dengan seluruh masyarakat perjanjian yang di PL secara konkrit berarti Israel. Meskipun demikian, dalam suasana PB tembok-tembok perbedaan etnik diruntuhkan. Oleh karena itu, gambaran PL yang dipakai di sini tentang orang-orang Israel yang dibuang dan dikumpulkan kembali bagi Tuhan di Yerusalem (30;3b-4; bnd. 28:64) digenapi sepenuhnya dalam kumpulan orang-orang berdosa PB secara universal, yaitu: mereka yang terbuang dari Firdaus, yang kembali kepada Tuhan Yesus yang bertahta di Yerusalem Surgawi.[16]
Untuk menghindarkan keputusasaan Israel oleh karena kegagalan mereka, Allah akan memberikan sumber ketaatan, sesuatu yang dulunya tidak dimiliki. Israel tidak akan lagi bersandar pada kekuatannya sendiri, melainkan akan menerima sebuah hati yang sudah disunat oleh Allah dan mampu untuk mengadakan perjanjian yang baru (ay.6).[17]

IV.       Analisis Tekstual PB
            4.1. Latar Belakang Kitab Roma
Surat kepada Orang Kristen di Roma merupakan hasil matang dari pengalaman dan pemikiran Paulus selama lebih kurang 20 tahun. Ia sendiri memberitahukan kepada sidang pembaca bahwa sudah lama berkarya dan pergi ke mana-mana dan di kawasan timur (Rm. 15:19). Kini ia mau membuka tahap bari dalam kerasulannya (Rm. 15:23-32). Pada kesempatan itu Paulus seolah-olah beristirahat sebentar guna mengolah serta mengatur pengalaman dan pikirannya, lalu menuangkannya dalam sebuah karang yang tersusun dengan cukup baik.[18]
Surat ini ditulis oleh Paulus pada saat perjalanan ketiganya unuk memberitakan Injil. Tanggal penulisan surat ini berkisar  53-58 M. Tahun 55 atau 56 M rupanya merupakan penulisan yang paling mungkin untuk surat ini.
Paulus mengawali suratnya ini dengan ulasan pendahuluan untuk mempersiapkan pembaca menerima segala hal yang hendak ia tulis (1:1-17), jadi dia menjalin suatu hubungan yang bagus antara dirinya dengan pembacanya. Paulus kemudian mengemukakan pokok surat yakni: pentingnya kebenaran di dalam hubungan manusia dengan Allah (1:18-8:39).
Selaku orang Yahudi, Paulus memandang manusia sebagai terdiri atas dua golongan, yaitu: Yahudi dan bukan Yahudi. Selaku orang Kristen Paulus menjawabnya dengan memberikan suatu ulasan tentang rencana Allah bagi orang Yahudi (9:1-11:36). Di bagian ini Paulus meletakkan sebuah landasan yang nyata bagi filsafat sejarah Kristen.
Sebagai penutup, dia menunjukkan betapa ia sangat menaruh perhatian terhadap orang-orang percaya di Roma (15:14 – 16:27). Mereka berada di wilayahnya dan dia bermaksud mengunjungi mereka sampai hal itu bisa terlaksana, dia harus mengirim salam kepada mereka lewat surat, memberikan suatu peringatan terakhir dan menyerahkan mereka kepada Allah yang adalah satu-satunya pihak yang dapat membangun mereka.[19]
Dari ps. 1:18 – 3:20, Paulus memperlihatkan betapa besarnya kebutuhan manusia akan Injil. Mula-mula ia memperlihatkan keadaan bangsa-bangsa non-yahudi (1:18-32); kemudian menunjukkan bahwa keunggulan Israel melulu omong kosong, karena orang Yahudi sudah diserang bencana dosa juga (2:1-3:20). Meskipun mula-mula nama bangsa itu tidak disebut, namun ayat-ayat berikutnya bahwa yang dimaksud adalah bangsa Yahudi. Cara ini tidak menimbulkan prasangka dalam hati orang Yahudi yang membacanya. Uraian mula-mula sedemikian umum dan sederhana, sehingga orang Yahudi terpaksa membenarkan sebelum sadar bahwa dirinyalah yang dikenal uraian itu.[20]

4.2. Kajian Teks Rm. 2:28-29
Dalam pasal 1-3, Paulus mengupas soal sengsara, yaitu keadaan umat manusia yang berdosa. Bukan hanya orang-orang yang bukan Yahudi saja (pasal 1), tetapi juga orang-orang Yahudi (ps. 2), bahkan semua manusia akan binasa selama-lamanya, seandainya Tuhan Yesus tidak datang menyelamatkan manusia (ps. 3).[21]
Dalam penerjemahan Rm. 2:28-29, terdapat perbedaan LAI dan Bahasa Yunaninya. Dalam LAI “yang disebut” merupakan terjemahan έστιν, “adalah”. Kata “secara lahiriah” (ay. 28a) yang pertama adalah terjemahan τώ φανερώ = “dalam kenyataan”, “yang tampak”. Yang kedua merupakan terjemahan έν σαρκί (ay. 28c) = “dalam daging”. “(Tetapi) orang Yahudi sejati ialah (dia yang)”, merupakan ulangan yang tidak ada dalam naskah Yunani.[22]
Dalam ayat 28-29a, Paulus menggabungkan unsur-unsur janji-janji Tuhan dalam PL yang berisi tentang sunat hati, maksudnya hendak menggambarkan mereka yang sungguh-sungguh melakukan Hukum Taurat, “orang-orang Yahudi sejati”. Ternyata mereka adalah orang-orang yang menyimpan Hukum Taurat dalam batin, yang telah menerima sunat hati, yang dijiwai bukan oleh hukum tertulis, melainkan oleh Roh. Sunat pada badan tidak menjamin orang termasuk golongan ini. Sama seperti Hukum Taurat, sunat barulah bermakna bila sifat-sifat tersebut terdapat dalam hati orang yang bersangkutan.
Hanya, Paulus maju lebih jauh dibandingkan para penulis PL yang telah menyatakan hal yang sama. Sebab (ay.27) ia mengenakan sifat-sifat tadi (yang sekaligus merupakan janji-janji) kepada orang-orang non-Yahudi. Dengan demikian ia membuka cakrawala yang dalam PL barulah kelihatan samar-samar, dan yang malah sama sekali tidak terdapat dalam agama Yahudi pada masa antar-perjanjian, yang bagaimanapun tetap menuntut supaya orang non-Yahudi yang mendapat bagian dalam janji-janji itu menjadi orang Yahudi dulu. Tetapi ia berbuat demikian karena sudah mengenal Kristus.[23]
Dalam ay. 29b, kalimat ini dapat ditafsirkan secara umum: yang penting ialah supaya Allah berkenan akan kita, bukan manusia. Wawasan seperti itu terdapat juga dalam karangan filsafat Yunani (Stoa). Tetapi perbandingan dengan 1 Kor. 4:6, memperlihatkan kepada kita bahwa yang dimaksud Paulus ialah pujian dari Allah dalam pengadilan terakhir, bnd. Mat. 25:21, 23. Dibandingkan dengan pujian itu, pujian dari pihak manusia tidak penting, bahkan dapat saja menyesatkan:

Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa Paulus memang beberapa kali menyatakan orang Kristen perlu mencari pujian dari pihak manusia. Namun, dalam hal itu manusia tersebut bukanlah sembarang manusia, melainkan jemaat Kristen, yang merupakan tubuh Kristus (2 Kor. 8:18), dan pemerintah duniawi yang ditetapkan oleh Allah sebagai hambaNya (Rm. 13:3-4).

Maka, jelaslah yang digambarkan dalam ay. 28-29 ini bukan lagi (seperti halnya ay. 14ff) sembarang orang kafir yang telah menjadi ahli waris janji-janji para nabi itu. Dengan perkataan lain: orang Kristen dari lingkungan kekafiran.
Hanya saja, Paulus belum terang-terangan mengatakan hal itu. Dalam pasal 2 ini tujuannya adalah membuktikan kepada orang Yahudi (Kristen) bahwa ada kebenaran di hadapan Allah yang tidak terikat pada hukum Taurat dan sunat (1:16-17; 3:21). Ternyata ada. Hal itu tampak samar-samar dalam dunia kafir (14) dan dikatakan terang-terangan oleh Alkitab dalam PL. Dalam 3:21, Paulus akan mengatakan mereka yang telah memperoleh kebenaran tersebut. Tetapi dalam pasal 2 ini, termasuk dalam ay. 28-29, mereka belum berwujud. Masih berlakulah hukuman ilahi atas seluruh umat manusia, baik orang kafir maupun orang Yahudi.[24]

V.        Refleksi Teologis
Beberapa atau banyak kelompok menganggap bahwa sunat hanya dalam bentuk khitanan. Namun dalam Ul. 30:6 dan Rm. 2:29, terdapat sunat hati.
Sunat hati sangatlah dibutuhkan pada zaman sekarang ini. Di mana dunia menghadirkan hal-hal yang mambuat manusia semakin mudah tergoda untuk meninggalkan jalan Tuhan. Apabila seseorang melakukan sunat lahiriah, maka akan ada bagian yang dibuang, demikian juga dengan sunat hati. Segala sesuatunya yang berbentuk negatif akan dibuang dari dalam hatinya, sehingga kembali kepada jalan yang diinginkan oleh Tuhan. Seseorang yang mampu melakukan sunat hati akan beroleh hidup yang daripada Allah (Ul.30:6).
Ada kebanggaan ataupun upah kepada orang yang dapat melakukan sunat hati. Yang melakukannya akan mendapat pujian yang berasal bukan dari manusia, melainkan mendapat pujian dari yang menciptakan seluruh bumi dan isinya, yaitu Allah (Rm. 2:8-9), sedang dalam Ul. 30:6, seseorang yang mampu melakukan hal itu akan beroleh hidup yang juga berasal dari Allah. Ini berarti segala sesuatunya yang ada pada manusia hanyalah bersifat sementara dan dapat hilang tetapi tidak begitu dengan Tuhan. Segala sesuatunya yang berasal dari Dia adalah kekal dan tidak berkesudahan, bahkan sampai kepada keturunan-keturunan umat-Nya yang mampu melakukannya (Ul. 30:6). Memang banyak halangan dalam melakukannya, namun upahnya akan sangat berdampak dalam kehidupan rohani kita.

VI.       Kesimpulan
Bagi sebahagian kelompok bahkan agama, sunat adalah secara lahir yang ditunjukkan lewat khitanan. Namun tidak demikian halnya dengan sunat hati. Sunat dalam PL adalah sakramen penyerahan diri kepada Allah. Jatuhnya bangsa Israel ke dalam dosa membuat Allah menginginkan pertobatan akan bangsa pilihanNya itu, sehingga bangsaNya beroleh kehidupan yang dari Allah (Ul. 30:6). Oleh karena itu, Allah melalui Musa menyerukan tentang adanya sunat hati, supaya segala tindakan manusia yang buruk ataupun yang negatif dari bangsa itu dibuang. Inilah yang mungkin bahkan pasti tentang apa yang dimaksud dengan sunat hati.
Demikian juga halnya dengan PB, Paulus mengetahui bahwa adanya kebanggaan bagi orang yang telah melakukan sunat dan orang Yahudi. Namun Paulus menegaskan bahwa sunat di dalam hatilah yang dapat ditunjukkan secara rohani yang sangat diinginkan Allah dilakukan oleh manusia. Seseorang yang mampu melakukannya akan mendapat pujian yang berasal dari Tuhan. Pujian yang dari Tuhan itu bersifat kekal dan tidak sementara seperti pujian yang berasal dari manusia.
Baik sunat hati dalam PL maupun PB, sama-sama mendapatkan upah yang langsung berasal dari Allah Sang Pencipta bagi yang mampu melakukannya dan itu dapat ditunjukkan lewat rohaninya.
Apabila seseorang melakukan sunat akan ada bagian yang dibuang, sama halnya dengan sunat hati. Bagian dari sifat hati yang buruklah yang dibuang, sehingga yang tinggal dalam hati hanyalah sifat-sifat hati yang positif  yang berkenan di hadapan Allah.
Mengasihi Allah dengan segenap hati dan menjalani hidup sesuai dengan yang berkenan kepadaNya sudah dapat dikatakan telah melakukan sunat hati. Dengan demikian sunat hati adalah sunat secara rohani yang tertuju kepadaNya. Kiranya setiap manusia dapat melakukan dan menjalankan sunat hati tersebut sehingga mendapat berkat yang melimpah dari Tuhan Allah.



[1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm. 976
[2] Herbert Haag, Kamus Alkitab, (Flores: Nusa Indah, 1984), hlm. 424
[3] Benjamin Davidson, The Analitycal Hebrew and Chaldee Lexicon, (Michigan: Zondervan Publishing House Academic and Professioanal Books, 1993), hlm. 492
[4] F. L. Baker, Sejarah Kerajaan Allah 1 (Perjanjian Lama), (Jakarta: BPK-GM, 2004), hlm. 128
[5] Ibid., hlm. 372
[6] R. Laird Harris (ed.), Theological Word Book of The Old Testament Vol. I dalam מל, (Chicago: Mody Press, 1981), hlm. 495
[7]  Roland de Vaux, Ancient Israel: Its Life in the Instutions, (London: Mc Graw-Hill Book Company, INC, 1986), hlm. 47-48
[8] Gerhard Friedrich (ed.), Theological Dictionary of New Testament (Vol. VI: πε-Ρ), (Michigan: WM. B Eerdmans Publishing Company, 1968), hlm. 82-83
[9] J.A. Motyer. Dkk “Sunat”, dalam J.D. Douglas (ed.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (Jilid II: M-Z), (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/IMF, 1995), hlm. 427
[10] James Hasting (ed.), Encyclopedi of Religion and Ethics; Vol. III (Burial – Confessions) dalam “Circumcission”, (New York: Charles Scribner`s Son`s, 1965), hlm. 680
[11] W.S. Lassor, dkk, Pengantar Perjanjian Lama I (Taurat dan Sejarah), (Jakarta: BPK-GM, 2001), hlm. 247
[12] Ibid., hlm. 250
[13] Gerald O Collins & Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 314
[14] G. T. Manley & R. K. Harrison, “Kitab Ulangan”, dalam -----, Tafsiran Alkitab Masa Kini (Jilid I: Kejadian-Ester), (Jakarta: YKBK/OMF, 2005), hlm. 292.
[15] Ibid., hlm. 291
[16] Charles F. Pfeiffer & Everett F. Harrison (ed.), Tafsiran Alkitab Wycliffe, Vol. I (Perjanjian Lama: Kejadian-Ester), (Malang:Gandum Mas, 2004), hlm.539-540
[17] Dianne Bergant & Robert J. Karris, Tafsiran Alkitab Perjanjian Lama, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 274
[18] C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm.220
[19] Charles F. Pfeiffer & Everet F. Harrison (ed.), Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol. III (Perjanjian Baru), (Malang: Gandum Mas, 2004), hlm. 509-510
[20] J. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab 4 (Roma-Wahyu), (Jakarta: YKBK/OMF, 2002), hlm. 22
[21] J. H. Bavinck, Sejarah Kerajaan Allah 2 (Perjanjian baru), (Jakarta: BPK-GM, 2004), hlm. 836
[22] Van den End, Tafsiran Alkitab: Surat Roma, (Jakarta: BPK-GM, 2006), hlm. 143
[23] Ibid., hlm. 146
[24] Ibid., hlm. 147-148

Tidak ada komentar:

Posting Komentar