ASAL MULA BATU GANTUNG
PENDAHULUAN
Setiap
Daerah pasti memiliki sesuatu yang khas dari diri mereka sendiri. Hal ini bisa
saja mencakup legenda, objek wiasta, ada, bahasa, sejarah, dan hal lainnya.
Daerah kita, Tanah Batak pun punya hal yang demikian. Salah satu daerah yang
terkenal dari Tanah Batak yaitu daerah Simalungun, khususnya daerah Parapat.
Tempat ini terkenal dengan objek wisatanya. Uniuknya, setiap objek wisata di
daerah ini memilki mitos tersendiri, baik Danau Toba, Sigale-gale, batu
gantung, dan lain-lain.
Mitos-mitos ini pun memiliki banyak versi, tergantung sumber yang kita
tanyakan. Mengapa demikian? Seperti yang kita ketahui, sudut pandang manusia
berbeda-beda dan kemampuan seseorang menyerap dan menyalurkan cerita yang
diwariskan turun temurun pun berbeda-beda.
Berikut
ini akan dipaparkan sebuah contoh mitos tentang batu gantung yang juga memiliki
berbegai versi, namun yang akan dipaparkan hanya 2 contoh saja .
ISI
Objek
wisata ini adalah salah satu objek wisata kebanggaan daerah Parapat. Tempat ini
terletak di sekitar daerah Sibaganding Tua, kurang lebih sembilan puluh menit
perjalanan dari daerah Siantar. Ada
dua jalur untuk mencapai tempat ini. Dari daerah Sibaganding Tua hanya
menghabiskan waktu lima
menit saja namun tempatnya agak terpencil. Bila dari jalur umum, yang di
pinggir jalan raya, akan menghabiskan waktu tiga puluh menit.
Banyak versi mengenai cerita batu gantung. Adapun versi yang berhasil
diperoleh dari penelusuran kelompok adalah sebagai berikut :
A. Menurut: Ujianna Br. Ambarita ( 85 Tahun )
Ujianna, salah seorang penduduk atau warga
desa Sibaganding Tua. Nenek ini
lahir, besar, menikah dan sampai saat ini masih tinggal di daerah Sibaganding
Tua, di mana peristiwa atau cerita Batu Gantung terjadi.
Asal
mula Batu Gantung
Dahulu
daerah Sibaganding merupakan suatu daerah yagn dipimpin oleh seorang Raja. Nama
Raja yang memimpin di situ ialah Tuan Sinaga. Sang Raja ini mempunyai seorang
putri yang bernama Duma br.Sinaga. Duma merupakan seorang yang seorang gadis
yang sangat cantik di desanya itu. Duma mempunyai rambut yang panjang dan
terurai hingga menyentuh tanah. Melihat keadaan sang putri yang sudah beranjak
dewasa, maka tuan Sinaga ingin agar putrinya itu menikah atau dipersunting oleh
seseorang. Di suatu saat sang raja memanggil Duma putrinya: mereka bercerita
mengenai jodoh atau menjadi pendamping hidupnya ( dahulu hal ini sering
terjadi, bahkan untuk menentukan jodoh atau pendamping hidup anak-anaknya,
orang tua sangat berotoritas sangat tinggi ). Hal inilah yang terjadi terhadap
sang putrid raja itu. Raja itu ingin agar putrinya menikah dengan paribannya
atau anak ni namborunya. Setelah
mendengar hal itu maka Duma menolak, Ia tidak mau segera menikah. Namun sang
Raja bersikeras agar putrinya itu menikah dengan paribannya. Melihat Duma yang
selalu menolah dan tidak ingin menikah dengan anak namborunya itu, maka sang
Raja menawarkan “ Anak ni Raja “ kepada putrinya itu, Duma boleh bebas memilih
anak ni Raja yang mana yang ingin dia pilih ( dahulu sangat lazim jika seorang raja
menjodohkan putra/i nya kepada putra/i raja yang lain ). Namun Duma kembali
menolak, dia tidak menginginkan siapapun dari antara anak ni raja itu. Dia
berkata bahwa dia tidak akan menikah dengan orang yang tidak disukai atau di
cintai.
Mendengarkan penolakan sang putri itu,
maka sang raja tuan Sinaga sangat marah kepada putrinya itu. Jika Duma tidak
mau menikah dengan orang-orang yang telah ditentukan oleh sang raja, maka
hendaklah Duma pergi dari rumah itu dan keluar dari perkampungan itu. Sebab
Duma dianggap seorang gadis yang tidak patuh kepada orang tuanya. Namun sebelum
putrinya itu meninggalkan rumah, sekali lagi sang raja menanyakan apakah sang
putri mau menikah dengan orang-orang
yang ditentukan raja itu, namun Duma tetap denga satu jawaban bahwa ia tidak
mau menikah dengan pilihan orang tuanya, karena tekadnya sudah bulat, untuk
meninggalkan rumah dan kampung halamannya itu. Amarah sang raja pun memuncakdan
dia bilang “boru naso si oloi ajar do ho”!.
Orang tuanya menyebutnya dengan “siboru nagigi” artinya wanita yang
tidak mau menikah. Padahal si Duma ini seorang gadis yang pintar bertenun,
bertenunu segala jenis ulos Batak.
Akhirnya pergilah si Duma dari rumah dan
perkampungan itu. Dia tidak tahu kemana dia akan pergi. Namun ia akhirnya terus
berjalan ke suatu puncak atau gunung mana tempat dia akan pergi dan tempat itu
disebut si Gaung-gaung. Ternyata ketika ia pergi, ia diikuti oleh anjing
kesayangannya. Karena sang putri tidak tahu harus bagaimana dan apa yang harus
dilakukan akhirnya ia putus asa. Si Gaung-gaung ini merupakan tempat keramat
yang dianggap tempat ini mempunyai penunggu yang mereka percayai pada saat itu.
Sehingga pada saat itu Duma menyerahkan dirinya kepada “ ompung mula jadi na bolon “,
( ompung mula jadi na bolon disini maksudnya kepada penunggu atau bahkan disebut
begu yagn dipercayai oleh penduduk
sekitar sebelum masuknya kekristenan ). Lalu Duma mempersembahkan dirinya
dengan berkata : “buat ma ahu ale ompung mula jadi na bolon”, setelah berkata
demikian maka penunggu atau begu yang ada di tempat itu bekerja dan mengikatkan
rambut si Duma pada suatu batu. Sebelumnya Duma mendekatkan posisi anjingnya di
dekat kakinya. Dengan perkataan “buat ma ahu” dan sepenuhnya
menyerahkan diri kepada penunggu, maka akhirnya Duma dan anjingnya menjadi
batu. Itulah awal sehingga terjadi batu gantung. Sebenarnya Duma bukanlah
terjun atau hendak melompat ke danau, namun penunggu dan begu yang disituylah
yang bekerja mengikatkan rambutnya ke batu sampai Duma dan anjingnya itu
akhinya tergantung.
Menurut sang nenek ini, dahulu tempat di
sekitar batu gantung itu sangat rawan, seram, dan angker. Banyak peristiwa yang
terjadi dan hal-hal yang aneh di tempat ini. Setelah peristiwa itu, banyak penduduk setempat itu lilu dalam hal kepercayaan, sebab
mereka banyak menyembah atau memberi sesajen atau pelean kepada arwah dari batu gantung itu. Mereka
percaya bahwa batu gantung itu mampu memberi rejeki, kekayaan, kesehatan, dan
lain sebagainya. Bahkan dulu, setiap orang yang berkunjung ke batu gantung
tidak boleh mengenakan pakaian berwarna merah saat berkunjung akan celaka,
karena si Duma tidak akan menjadikannya sebagai temannya. Bahkan yang
paling ironisnya, tidak boleh dulu ada orang yang mengucapkan “batu
gantung” alasannya bisa-bisa arwah yang di batu gantung itu akan marah
dan melakukan suatu hal terhadap penduduk sekitar.
Banyak
hal yang terjadi disekitar batu gantung, diantaranya : ketiak seorang tentara
Belanda hendak menembak batu gantung dengan makdsud agar batu itu jatuh, namun
batu itu tak kunjung jatuh. Maka
sang tentara Belanda merasa marah sehingga ia mengucapkan cakap kotor. Ketika
ia mengucapkannya, dengan sendirinya kapal yang dia tumpangi miring dan
akhirnya terjatuh. Dan menurut penelitian bahwa kedalaman danau sekitar tempat
itu sangat dalam.
Seiring masuknya kekristenan ke desa
Sibaganding itu, maka dengan sendirinya penyembahan terhadap arwah-arwah
disekitar batu gantung itu berkurang. Mereka mulai memeluk suatu agama. Bahkan
setelah masuknya kekristenan, banyak hal positif yang telah terjadi. Karena
tidak ada penyembahan dan tidak ada lagi orang yang memberi pele-pelean maka penunggu dan arwahnya
dianggap tidak tinggal disitu lagi. Hingga sampai sekarang tidak ada lagi yang
melakukan penyembahan atau memberi pelean kepada arwah yang disitu bahkan
menurut nenek itu tidak ada lagi yang aneh yang terjadi disitu.
Akhir dari ucapan Duma kepada orang tuanya
sebelum pergi dari rumah dan perkampungan ia bilang: “tung na so jadi tubu borum
songon ahu”. Begitulah cerita dari seorang ompung yang benama
Ujianna br. Ambarita yang notabene sebagai orang tertua yang tinggal di kampong
itu, dari lahir hingga tua. Dan nenek itu berkata bahwa istri dari sang raja
atau ibi dari Duma itu ialah br. Sirait.[1]
B. Menurut Riorita br. Situmorang ( 58 Tahun )
Inang
Riorita adalah salah satu seorang penduduk desa Sibaganding Tua, inang ini
adalah seorang sintua HKBP Sibaganding Tua. Menurut beliau ceritanya sebagai
berikut:
Duma adalah seorang putrid Raja. Duma yang
dikenal orang sangat patuh terhadap orang tuanya, dan apa yang diperintahkan
orang tuanya selalu ia laksanakan dan kerjakan. Duma pun akhirnya bertumbuh dan
menjadi dewasa. Ia menjadi seorang gadis yang sangat cantik, ia mempunyai
rambut yang sangat panjang terurai hingga hampir menyentuh tanah. Karena sudah
dewasa, Duma mempunyai pacar atau laki-laki yang dicintainya, dan ia sudah
mengikat janji dengan sang lelaki yang dicintainya itu. Namun orang tua Duma
tidak mengetahui hal itu. Padahal ternyata ketika Duma masih kecil ia sudah
ditunangkan dengan apriban atau anak namborunya, dengan kata lain si Duma telah
“dipaorohon”
kepada paribannya itu.
Disuatu ketika datanglah namborunya si
Duma itu kerumah orang tua Duma atau itonya itu. Lalu ia mencari Duma dan ingin
menceritakan suatu hal kepada “maennya” itu. Namborunya itu
berkata : “anggi so tung di olio ho be anak ni na asing, Alana nunga dipaorohon
ho na jolo tu pariban man, anakkonki” dan namborunya itu juga
menegaskan bahwa “na jolo nga huboan hami
sipanganon tu jabu on, lao paorohon ho dohot pariban man jala dohot di najolo
oppungmu mambege dohot mamereng I, jadi tung na so jadi be ho tu anak ni asing,
ingkon tu pariban mon do ho!”. Mendengar perkataan namborunya itu Duma
sangat terkejut, dan Duma berkata bahwa tidak pernah ada penjelasan atau ucapan
dari bapaknya kalau dia sudah diikat janji atau di Paorohon kepada paribannya, sehingga Duma berkata dia tidak bisa
menikah dengan paribannya sebab ia sudah sempat menerima janji seorang
laki-laki yang dia cintai. Sebab tidak mungkin baginya untuk mengingkari janji
kepada kekasihnya sebab dahulu ada “Umpasa” batak yang mengatakan bahwa “na
mangose padan tu riburna tu magona”.
Duma tidak ingin melanggar umpasa itu, sebab dahulu apa yang disampaikan
seorang itu boleh benar-benar terjadi.akhirnya namboru si Duma itupun menangis
mendengar kalau si Duma sudah mempunyai lelaki yang dicintai dan kekasihnya.
Sebab dahulu bapak Duma menyetujui kalau Duma dan paribannya itu di paorohon.
Tidak tahan mendengarkan penjelasan yang
kuat dari mulut Duma dan namborunya itu juga tidak dapat membendung air matanya
sehingga namboru Duma pergi kepada bapak Duma atau itonya itu dan menjelaskan
semua yang terjadi dan mengatakan bahwa si Duma sudah menjalin hubungan dengan
orang lain dan itu bukan dengan paribannya. Namborunya itu bertanya kepada
itonya itu mengenai janji itu “mose”atau tidak ditepati. Padahal orang tuanya
tadi tidak tahu juga kalau si Duma berpacaran pada orang lain. Melihat air mata
namboru Duma atau ito bapaknya itu, maka sang bapak merasa iba melihat itonya
menangis. Maka bapaknya memanggil putrinya si Duma dan dan meminta penjelasan
bagaimana sebenarnya hal yang terjadi pada putrinya itu. Duma akhirnya
menjelaskan semuanya kepada orang tuanya. Setelah mendengar penjelasan Duma,
bapaknya sangat marah, Duma sangat ketakutan, sebab dia seorang yang sangat
patuh pada orang tuanya, dan dia sudah menolak keinginan orang tuanya. Namun
Duma tetap berkata bahwa dia tidak bisa menikah dengan anak namborunya/
paribannya itu. Namun sang raja ( bapak Duma )berkata : “ingkon tu paribanmi do ho, dang
boi tu na asin, ingkon!!.
Mendengarkan suarau bapaknya yang sangat keras,
Duma berdoa demikian : “oppung mula jadi na bolon, sahat tu ho ma
ahu, molo ingkon songonon do, dang jadi ahu tu haholongan ni rohakki, jala dang
jadi tu paribanki, jala sahat tu ho ma ahu oppung mula jadi na bolon!”
( artinya: tidak ada satupun yang mendapatkannya).
Setelah
itu akhirnya Duma pergi dari rumah, karena ia sudah di usir oleh orang tuanya
sebab dianggap sebagai anak durhaka atau naso
si oloi poda ni natorasna. Larilah dia dari perkampungan itu melalui kolong
rumah mereka atau disebut bara ni jabu sebab
dahulu, umumnya masih rumah panggung.
Dari bawah kolong rumah ia menuju ke suatu
bukit atau gunung dan larilah di semak-semak itu. Kebetulan pada waktu itu
daerah gunung itu kebakaran, tetapi ia tetap menembus api yang ada
disemak-senak itu. ( kebakaran pada gunung atau bukit itu terjadi sendiri )
tanpa ada orang yang menbakarnya, dan bahkan sampai sekarang kebakaran pada
gunung itu sering terjadi dengan sendirinya apalagi terjadi kemarau selama 2
bulan atau lebih, hal ini memungkinkan karena batu yang satu bergesekan dengan
batu yang lain dan karena pengaruh tanah matahari selama 2 bulan, sehingga
menimbulkan api dan terjadilah kebakaran. Setelah menembus semak yang terbakar
sampailah ia di suatu tempat, tempat itu adalah batu-batu yang dipercayai oleh
penduduk sekitar situdan terdapat penunggu atau begu. Maka sampailah dia
disana. Duma putus asa dan tidak tahu kemana ia harus pergi, Duma berkata “molo
toho do adong maringanan di batu on, alap ma ahu; alai molo so adong do, tao on
ma mambuat ahu, Alana tung na so jadi ahu mulah be ahu”. Saat itu anjing
Duma ikut atau datang dari belakang mengikutinya.
Duma akhirnya hendak melompat ke danau
itu, sebab tiga kali ia menoleh kebelakangnya untuk mempersembahkan dirinya
kepada makhluk yang ada atau penunggu disitu. Lalu akhirnya duma berlutut marsinggang pasahathon dirina namun
tidak ada apa-apa yang dilihat di sekitarnya. Duma berfikir kembali namun tetap
saja hatinya tidak ingin kembali kepada orang tuanya, tekadnya sudah bulat. Dia
sudah habis fikir, lalu di lompatnyalah ke danau itu namun karena rambutnya
yang sangat panjang teruraimaka sangkutlah rambutnya itu di batu dan dia
akhirnya tergantung dan begitu juga dengan anjingnya Duma ikut melompat, ketika
melompat anjingnya menjadi batu dan tergantung. Itulah sebabnya terjadi batu
gantung.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Inang
br. Situmorang ini, bahwa dahulu juga di daerah batu gantung itu sangat seram
dan angker. Dahulu tidak boleh ada orang/pengunjung yang datang ke tempat ini
dengan mengenakan pakaian berwarna merah, karena penunggu-penunggu di situ suka
akan hal-hal yang berwarna merah. Bahkan dulu ketika bulan purnama, banyak
orang disitu/ penduduk desa itu yang mangangguki atau menangis disitu memberi
sesajen atau pele-pelean kepada arwah penunggu disitu agar diberi rezeki,
kesehatan, hamoraon, hagabeon, dan hasangapon. Inang br. Situmorang
menceritakan tentang seorang tentara Belanda yang mencoba menembak batu itu
agar jatuh, ketika itu juga penduduk disana menyadari kekeliruan
kepercayaannya. Namun seiring perkembangan zaman dan masuknya kekristenan maka
hal-hal seperti semakin terkikis dalam kehidupan masyarakat. Tidak ada lagi
yang melakukan penyembahan di batu gantung itu dan mereka sudah memeluk agama
dan tidak percaya lagi pada hal-hal takhyul seperti itu. Dan menurut mereka,
tidak ada lagi penunggu yangberdiam disitu sebab tidak ada lagi orang yang mamele atau memberi sesajen. Inang ini
mengatakan penunggu itu betah bila di beri sesajen dan jikalau itu tidak
dilakukan maka dengan sendirinya begu atau penunggu itu akan pergi atau
berpindah.[2]
KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan sebelum masuknya
kekristenan ke daerah Sibaganding Tua, masyarakat setempat sangat marak melaksanakan
pemujaan atau pameleon terhadap begu
atau penunggu yang diam di batu gantung. Tetapi sesudah kekristenan masuk
ketanah batak, pemujaan itu sudah semakin berkurang .
Memang
versi cerita tentang batu gantung banyak, namun ada beberapa hal yang sama
dengan yang lainnya, yaitu tentang nama tokoh, tempat kejadian, dan masalah
awal, juga akhir cerita sama. Perbedaan terlihat dalam jalan cerita, dan
beberapa hal lainnya. Ini mengindikasikan bahwa sumber pertama adalah satu
orang. Karena keterbatasan alat komunikasi dan kemampuan manusia, maka
penyampaian cerita ini keberbagai tempat, daerah, bahkan orang menjadi berbeda
satu dengan yang lainnya.
[1] Wawancara dengan ompung Ujianna br. Ambarita
, sabtu 22 september 2007 pukul 14.00 sampai selesai, di rumah narasumber di
Sibaganding Tua.
[2]
Wawancara dengan narasumber st.Riorita br. Situmorang , minggu 23 september
2007 pukul 15.00 sampai selesai di rumah amang Sinaga /br. Hutabarat di desa
Sibaganding Tua.